PART 8

19 2 0
                                    

Ddrrtt.. ddrtt..

Handphone Vera berbunyi saat aku akan menjawab pertanyaannya. Ada panggilan yang masuk. Ku lihat di layar ponselnya tertera nama 'MAMAH❤'

Vera pun segera mengangkat telepon nya.

Setelah selesai menerima telepon, Vera terlihat buru-buru pulang.

"Kenapa, Ver?" Tanyaku.

"Gue disuruh mamah pulang sekarang, nih. Gue duluan ya? Gapapa kan?" Balasnya.

"Iyaa iya gapapa. Tapi ga ada masalah apa² kan dirumah?" Tanyaku lagi.

"Enggak kok, gue pulang dulu yaa" Vera pun beranjak dari kursi.

"Ati-ati Ver," teriak Rina.


• • •

Tak lama setelah Vera pergi, aku dan Rina pun keluar dari mall. Bukan pulang, tapi aku dan Rina akan jalan-jalan ke Alun-Alun.

Terlihat suasana kota di malam hari. Bintang bertaburan di langit. Kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalan. Ada juga yang sedang bersantai sambil menikmati makanan di Alun-Alun. Sesekali aku mengabadikan momen-momen dengan kamera yang aku selempangkan di leher.

Aku tidak hanya menangkap potret manusia, tapi juga interaksi manusia dengan lingkungannya.

Sewaktu menggeluti dunia fotografi, aku tersadar akan satu hal. Dengan kamera, aku bisa memaknai arti hidup yang ada disekitarku. Waktu mungkin terus berjalan, tapi seorang fotografer memiliki kelebihan untuk mengabadikan waktu.

"Asik ya kayaknya, mainin kamera gitu," ucap Rina meringis sambil melihatku yang sedang memotret.

"Kenapa? Mau juga ?" Balasku sambil menyodorkan kamera ke arahnya.

"Ehh, enggak enggak. Ancur ntar wkwk"

"Engga papa kalii Rin, gue ajarin kalo lo mau,"

"Gak deh Sya. Elo fotoin gue aja," Rina mengambil posisi seperti model yang hendak di foto.

Aku pun hanya geleng kepala. Bukan Rina kalau tingkahnya gak aneh.

"Nah, mulai sekarang, gue jadi model lo aja, dan elo jadi fotografer gue, hahaa" canda Rina.

"Helehh, ngerasa udah jadi model, jadi model kemasan botol kecap mau?," Aku terkekeh.

"Ya ampun, tega banget sih. Gini-gini gue sebenernya punya bakat tersembunyi tauu" balasnya.

"Hhh, iya dehh serah lu aja" Ucapku sambil menepuk bahu Rina.

Obrolanku dengan Rina terhenti, saat melihat dua orang anak berbaju lusuh, usianya kira-kira 6 tahun dan 9 tahunan. Seorang laki-laki dan perempuan. Sepertinya mereka kakak beradik. Aku melihat dua anak itu sedang berada di salah satu warung. Terdapat penjual warung yang sedang memarahinya. Aku bisa mendengarnya, karna jarak ku dengan warung itu cukup dekat.

Aku pun mengajak Rina untuk mendekat, bertanya apa yang sudah terjadi.

"Maaf, Bu. Ada apa ya ini?" Tanyaku kepada penjual.

"Mereka ini mau beli bakso saya, tapi gak punya uang katanya. Ya saya tidak mau, nanti saya rugi dong! Beli di warung lain aja sana kalo mau gratis! Enak aja, main gratis gratisan," Gertak si penjual dengan nada tinggi.

Kedua anak itu menunduk takut. Mereka memegangi perutnya. Sepertinya mereka sangat lapar. Aku jadi iba, begitu juga dengan Rina.

"Tapi ibu tidak usah memarahinya seperti ini juga. Mereka kan masih kecil, kasian." Sambung Rina sambil mengelus-ngelus kepala salah satu anak itu.

"Mbak ini siapa?! Sodaranya? Ya terserah saya. Saya juga butuh duit buat makan mbak!"

"Adek ingin makan?" Kutanya kedua anak itu.

"I..ii yaa Kak, sudah 2 hari belum makan, kami lapar sekali," jawab anak laki-laki itu.

Aku mencoba untuk tidak mengeluarkan air mataku. Aku sangat kasihan dengan mereka.

"Yaudah. Bu, pesan bakso 2 buat mereka, biar saya yang bayar," ucapku.

Kami pun mencari tempat duduk. Kedua anak itu masih diam.

"Ini adikmu ya?" Tanya Rina kepada si anak laki-laki

"Iya Kak,"

"Kalian tinggal dimana?"  Tanyaku.

"Dipinggir kali yang disana itu," jawabnya.

"Eh iya, nama kalian siapa?" Tanyaku lagi.

"Aku Rafi, ini adikku namanya Melati,"

"Oh iya ya. Nama kakak Rasya, ini temen kakak namanya Rina. Kalian ga usah takut sama kita, kita orang baik kok," jelasku.

Kedua anak itu manggut-manggut mengerti. Tak lama, bakso pun sudah datang. Mereka nampak senang sekali.

"Terima kasih. Kakak baik sekali," ucap Rafi.

"Iya sama-sama, ayo dimakan dulu," ucap Rina.

Aku masih terus memandangi mereka yang sedang makan. Aku ikut bahagia.

"Kakak tidak ikut makan? Ayo sini Kak, buat bareng-bareng" Rafi menyodorkan mangkoknya kearahku dan Rina, Melati juga sama.

"Ehm, enggak. Kakak sudah makan tadi. Buat kalian aja, dihabisin ya," Aku tersenyum.

"Kakak baik," ucapnya.

Aku dan Rina saling pandang. Sama sama merasa senang melihat mereka.

"Kami tinggal berdua dirumah. Ibu sudah meninggal 6 bulan yang lalu, karena sakit. Kita ga punya uang buat bawa ibu berobat, uang hasil ngamen enggak cukup,kak" Rafi pun akhirnya berani untuk bercerita.

"Ngamen?? Kalian ngamen ?" Aku kaget, ternyata mereka adalah seorang pengamen. Bocah seusianya sudah harus cari uang. Hidup di jalanan yang sangat keras.

Dulu, waktu aku seusianya, aku hanya bisa merengek minta dibelikan mainan baru. Kalau tidak dituruti, aku akan mogok makan. Dan akhirnya Ayah akan membelikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Rafi dan Melati. Apalagi mereka hanya hidup berdua.

• • •

Ditunggu next part nya yaaa..

BUDAYAKAN VOTE SEBELUM BACA,
DAN
COMMENT SETELAH BACA :))

Thankyou❤

INTUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang