Hukuman Pertama

76 14 20
                                    

Dengan tanpa semangat, aku membuntuti Erza, berjalan satu langakah di belakangnya, menuju ruang BK di ujung bangunan sekolah. Aku hanya diam di sepanjang jalan. Tapi Erza berjalan santai sambil bersiul, dan menyanyi dengan suara fals-nya. Bahkan meloncat-loncat macam monyet-monyetan karet.

Hari yang sial! Gara-gara Erza dengan sengaja menunjukkan kecoak hidup di depan mukaku. Aku menjerit keras, membuat seisi kelas ikut menjerit -entah terkejut, atau merasa terganggu-, guru Matematika yang sedang menjelaskan materi matriks di papan tulis, ikut menjerit -lebih tepatnya berteriak marah- dan beliau menyuruhku dan Erza pergi ke ruang BK.

Ketika tiba di depan ruang BK, aku ragu-ragu untuk membuka pintu. Ketika terbuka, tidak ada guru piket di balik meja jaga. Aku mengernyit, ke mana?

"Ada guru piketnya, nggak?" tanya Erza yang berdiri di belakangku.

"Nggak ada," jawabku pendek.

"Syukur deh."

"Apa?"

"Nggak capek apa, denger kultum pagi-pagi?"

"Terus?"

"Gue mau pergi, tapi kalau lo mau masuk, masuk sendiri aja, Gue gak ikut." kata Erza sambil berjalan menjauh.

"Lho, terus gue gimana?" tanyaku sambil menjajari langkahnya.

"Ya nggak gimana-gimana, emangnya mau gimana?"

"Ini kan hukuman kita, kalau lo pergi, gue sendirian dong?"

"Nggak sendirian kok, kan berdua sama pak Anto." Jawabnya polos. Ingin sekali rasanya aku menjitak kepalanya. Tapi, aku hanya diam dan mengikutinya dari belakang.

Erza terus berjalan menuju kantin, tapi tujuannya adalah gang kecil dan sempit di belakang kantin. Ketika Erza membuka penutup di depan pintu masuk gang, dia terkejut melihatku ada di belakangnya.

"Ngapain ngikutin gue?" tanyanya.

"Terpaksa, karena gue nggak mau di omelin sendirian."

"Bagus," ucapnya. "Tapi, kalau ada apa-apa, gue nggak mau ikut campur."

Aku merapikan rambutku yang sedikit kusut karena tertiup angin,"Tapi, kita kan bolos bareng."

"Kita? Gue aja, gak pake lo!"

Aku mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Gue kan gak pernah ngajak lo bolos, jadi, kalau lo kena, gue nggak ikut-ikut."

Bel istirahat berbunyi. Tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Akhirnya, terpaksa aku mengikuti Erza masuk ke gang sempit itu.

"Diajak atau nggak, gue tetep ikut lo!"

''Kalo ada apa-apa, tanggung sendiri ya?"

Aku mengibaskan tangan dan mendorongnya untuk berjalan dulu.

***

07.30

Telat tiga menit. Gerbang telah tertutup rapat. Aku langsung lemas ketika mendengar bel jam pertama akan segera dimulai.

"Arghh... Sial!" Aku menggerutu sendiri. Di tengah kekesalanku, seseorang memanggilku dengan suara rendah. Aku menoleh ke segala arah, tapi tidak menemukan siapapun di sekitarku.

PLETAKK..

Sebuah krikil kecil menimpa pelipis kananku. Aku menoleh ke asal kerikil itu berada, dan menemukan Erza di balik semak setinggi pinggang tak jauh dari gerbang sekolah. Aku menghampirinyadengan penuh amarah. Tapi, ketika aku berada di sampingnya, dia malah menarikku untuk ikut berjongkok dan menutup mulutku dengan telapak tangannya. Kemudian, dia berbisik

"Sorry, gue tadi lempar lo. Tapi gue nggak ada niat jahat. Tadi ada satpam di pos jaga, kalau dia sampai dia liat lo, dia pasti bakal laporin lo ke pak Anto."

Aku mengangguk kesal. Dan dia melepas tangannya, kemudian memutar kepalaku agar menghadap wajahnya.

"Eh, ya ampun, sampe keluar darahnya. Tunggu bentar." Kata Erza sambil mengaduk isi tasnya untuk mencari sesuatu. Sementara itu, tangan kananku memegang pelipis yang terkena lemparan kerikil Erza. Ada sedikit darah yang menempel di jariku.

"Nih." Dia menyodorkan plaster padaku. Aku memandangnya datar, seraya membatin, Apaan sih? Aneh deh, nih orang! Aku menggeleng. "Yah.. malah bengong! Sini gue pasangin!"

Aku merebut plaster dari tangannya, "Gak usah sok drama! Gue bisa sendiri." Jawabku ketus.

"Gausah bantah! Ini salah gue, jadi gue yang harus tanggung jawab." Katanya sambil mendelik, "Siniin!"

"Gak mau!" Akhirnya dengan susah payah, plaster itu menempel di pelipisku. Entah karena kesal atau apa, dia menekan luka yang sudah tertutup plaster.

"Sakit, bego!" Aku memukul tangannya.

"Masuk yuk,mumpung belum mulai pelajarannya."

"Hah? Gimana caranya coba? Kan gerbangnya udah nutup dari tadi."

"Udahlah.. ayo." Belum sempat aku bertanya lebih banyak, Erza sudah menarik tangaku dan mengajakku ke gang sempit yang kemarin kami lewati untuk bolos ke Dufan.

Well, jangan tanya kenapa kita bisa ke sana kemarin. Karena itu adalah hal gila yang aku-dalam sepanjang sejarah pendidikanku belum pernah membolos, meski sehari- lakukan bersama Erza.

Semuanya, berawal dari Erza yang bego dan salah milih jurusan angkot, yang tujuan awalnya pergi ke ćafe malah nyasar ke Dufan. Dan lebih begonya lagi, aku dan Erza hanya beli bubur ayam, kemudian mengambil tas ketika sekolah sudah sepi dan bergegas pulang.

"Lo yakin, kita aman lewat sini?" tanyaku ragu.

"Yakinlah! Kemarin kan aman."

"Sekarang, sama kemarin kan udah beda cerita."

"Bawel lo! Udah.. ayo cepet."

Aku mendengus sebal seraya mengikutinya dari belakangnya. Erza membuka penutup pintu , dan kami keluar dari gang sempit itu. Selanjutnya, kami sudah seperti maling yang mengendap-endap untuk sampai di kelas. Lorong di seluruh penjuru sekolah sudah sepi.

Sesampainya di kelas, semua mata memandang kami kaget. Apalagi Mira yang hampir menjatuhkan penghapus papan tulis di tangannya. Untungnya, belum ada guru yang masuk.

Mira langsung menarikku menuju bangkunya dan memaksaku duduk di tempatnya.

"Udah deket lo ya, sekarang sama si Erza?" tanya Mira berbisik.

"Nggak, tuh."

"Tapi, kalian keliatan akrab."

"Dari mananya sih?"

"Gue tahu, lo kemarin sengaja kabur dari ruang BK sama dia, kan?"

"Emang iya. Terus, akrabnya dari sisi mana?"

"Maksud gue, deket. Kalian udah mulai deket sekarang."

Maap ya.. segini dulu.. masih ada keperluan

Friend ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang