Polkadot pink

72 9 20
                                    

Pak Anto segera menyeretku dan Erza menuju ruangannya. Aku melirik Erza, rupanya dia tidak merasakan apapun, padahal, kekuatan pak Anto untuk menjewerku ini mampu meremukkan tiang listrik sekalipun.

Pak Anto baru melepaskan tangannya dari telingaku dan Erza setelah kami berada di ruangannya, ruang BK-yang dijuluki siswa sekolahku dengan sebutan Ruang Eksekusi.

Erza mengambil posisi untuk duduk di kursi yang disediakan berhadapan dengan meja pak Anto ketika beliau sedang memutari mejanya untuk sampai di tempat faforitnya, aku yang hanya bisa pasrah hanya mengikuti apa yang dilakukan Erza.

"Heii! Siapa yang suruh duduk, ha?" Suara menggelegar itu terdengar lagi, membuat niat untuk duduk mendadak surut. Erza dengan malas ikut berdiri.

"Bagus," ucap pak Anto pelan namun nada tajamnya tidak berkurang sedikitpun, "jadi.. jelaskan alasan kalian kenapa tidak datang ke ruangan ini kemarin." Tangan pak Anto terjulur ke laci mejanya kemudian meloloskan sebatang penggaris kayu dari dalamnya.

Aku semakin pucat.

"Kemana saja kalian kemarin? Kabur kemana kalian?" Pak Anto mengelus-elus permukaan penggarisnya.

Oke, ini adalah pertanyaan yang sudah kuduga sebelumnya, dan aku sudah memiliki jawaban yang pas untuk itu. Tapi, ketika bibirku terbuka hendak menjawab, Erza sudah memberikan jawaban yang membuatku geram.

"Ke Dufan, pak," jawab Erza enteng.

BRAKKK!!

Pak Anto memukul mejanya dengan penggaris kayu, telingaku yang masih cenat-cenut semakin berdenyut mendengar suara keras itu. Tanganku meremas ujung rok seragam abu-abuku.

"Jawab yang serius, Erza! Saya gak suka main-main!" Suara pak Anto terdengar rendah namun menusuk.

"Nah, siapa juga yang main-main? Saya sudah serius loh pak." Erza masih memasang wajah tak bersalahnya, aku melirik wajah pak Anto yang semakin merah, kumisnya yang panjang melintang bergerak-gerak menahan kesal.

"Saya tau kalian kemarin kabur ke diskotik, kan?" Kali ini suara pak Anto naik satu oktaf.

"Hah? Apanya yang ke diskotik pak? Kita tuh cuma ke-" aku mencoba memberi pembelaan, tapi pak Anto tetap keukeuh.

"Ke apa!? Kalian itu siswa macam apa? Pergi ke club di jam sekolah?!" Pak Anto semakin meninggikan suaranya, kali ini penggaris kayu yang dibawa pak Anto mulai mengacung di antaraku dan Erza.

"Diskotik apa sih, pak? Club apa? Bapak pengen tau kami kemarin ke mana? Kami ke Dufan pak," Erza menjawab enteng.

BRAAAKKKKK!!!!
Pak Anto memukul mejanya dengan penggaris kayu lebih keras dari pada sebelumnya, aku berjingkat dan semakin mempererat genggamanku pada rok abu-abu yang kupakai.

"Anak tidak tahu malu, sudah salah masih saja berulah, jawab yang jujur apa salahnya, hah?! Saya lihat sendiri kalian masuk diskotik kemarin!" Pak Anto mendelik ke arah kami berdua.

Tapi aku dan Erza malah berpandangan satu sama lain, tatapan itu seperti berkata:

Aku : "Diskotik apaan sih, Za?"
Erza : "tau tuh orang tua, marah-marah mulu, asam uratnya kambuh kali."

"Gak usah kode-kodean satu sama lain, ya, kalian jujur atau saya panggil orang tua kalian kemari!"

"Pak,-" Erza mencoba untuk menjelaskan, tapi pak Anto cepat menyela Erza.

"Apa? Heh? kamu mau jawab apa? Sudah jelas sekali kan, kalau kamu itu bohong!"

"Pak, bapak sadar nggak, dari tadi bapak ngomong itu kami gak ngerti sama sekali pak-"

Friend ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang