"Mendaki itu untuk membuat kita jadi diri sendiri,
bukan meniru orang lain."
Jakarta, 16 Mei 2016.
Hari ini adalah hari keberangkatan. Hari di mana mereka bertiga menepati janji satu sama lain untuk melakukan perjalanan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Sekalipun mereka pernah mendaki gunung, tapi anak-anak muda ini tidak tahu kalau setiap perjalanan memiliki tujuan. Beda tujuan, beda pula hasilnya.
Pukul 08.30 WIB, Quinta duduk di bangku bandara sambil mendengarkan lagu dengan headset. Ia menunggu Anjar dan Saprian yang tak kunjung datang.
Tak lama kemudian, tiba-tiba berhenti sebuah taksi tepat di depannya. Seseorang di taksi itu membuka kaca jendela belakang.
"Pagi, cantik. Harganya berapa?" tanya orang itu.
"Lo pikir gue perek apa?!" ketus Quinta sambil berdiri.
Anjar cuma menyengir sambil membuka pintu.
"By the way, kalian dari mana, sih? Gue nunggu udah hampir satu jam, nih!" keluh Quinta sambil menunjuk jam tangannya.
"Biasa, si Anjing kesiangan. Untungnya gue punya inisiatif pake taksi buat jemput ke rumahnya," jelas Saprian sambil menurunkan barang dari bagasi taksi. "Oya, Sayang, udah makan belum?"
"Nggak kebalik? Harusnya gue yang nanya gitu!" gerutu Quinta.
Saprian menyengir.
"Eh, Sap, gue bukan kesiangan, tapi lo-nya aja yang kepagian," balas Anjar sambil mengambil ranselnya. "Gue lagi mimpi indah semalam. Eh, tau-tau pas bangun udah ada Sapi di kamar!"
"Ya udah. Yang penting kita nggak telat. Sekarang kita kudu check in," lerai Quinta. "Eh, Jing, lo udah bawa tiketnya, kan?"
"Nih! Udah gue pesen dari kemarin. Tenang aja," kata Anjar sambil mengeluarkan tiga tiket dalam kantong bajunya.
"Eh, papa sama mama telepon Nisa nggak?" tanya Saprian pada Quinta.
"Ya nelponlah. Tapi aman. Gue udah ngelobi Nisa, kok. Jadi nggak ketahuan bohongnya. Terus kata Nisa, kebetulan dia juga mau liburan dan berangkat hari ini. Jadi nggak bisa jemput kita di bandara. Pas gue tanya mau ke mana, Nisa malah jawab rahasia."
"Ya udah. Kita, kan, emang nggak minta dijemput Nisa. Si Anjing udah telepon Bang Igun. Katanya ada temannya Bang Igun yang mau jemput kita pas udah sampai di Padang. Namanya Yansen," jelas Saprian.
"Ciri-ciri orangnya kayak gimana?" Quinta penasaran.
"Satu jam lalu Bang Igun kabarin gue, katanya kalau udah sampai bandara, cari orang dengan penampilan nyentrik dan mencolok. Itu pasti Yansen," terang Anjar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Di Atap Sumatera Series
AdventureCerita ini dimulai dari perjalanan tiga mahasiswa tingkat akhir yang ingin melakukan pendakian sekali lagi sebelum melepas status mahasiswa mereka. Tetapi tanpa disangka, perjalanan yang mereka rencanakan berubah haluan. Dari gunung yang terkenal me...