Happy reading..
***
Lo tanya gue lelah? Gue gak hanya lelah, tetapi juga haus! Haus akan kasih sayang.Lo tanya gue capek? Bahkan kata capek gak akan mampu mewakili perasaan gue.
Terlalu monoton untuk anak seumuran gue,
Dan terlalu kejam untuk masa kecil gue.Masalalu yang kelam ngebuat gue tau apa arti kehidupan.
Bahwa kehidupan tak selalu tentang rupiah!
Cowok itu membaca kembali tulisan di buku diarynya, lalu memasukkanya kedalam tas.
Matahari yang sedari tadi setia menemaninya menulis di roof top sekolah, tak membuatnya beranjak dari duduknya untuk mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya.
Ia mengambil dan memakai handsetnya, mendengarkan lirik lagu yang seakan mewakili perasaannya selama ini, memejamkan mata seakan menghayati dan meresapi makna dari setiap baitnya.
Ayah..
Ku kirimkan doa..
Semoga Engkau tenang di alam surga..Ayah kan ku ingat slalu..
Pengorbanan yang telah Engkau berikan..Ayah..
Terlalu cepat Kau pergi..
Meninggalkan aku sendiri..Ayah..
Tak bisa aku ingkari..
Tanpa Engkau hidupku terasa sunyi..Ia membuka matanya, dan terlihat hamparan kota Bandung dari atas sini.
Ayah..
Dengarkanlah..Dan teringat saat kepergianmu..
Ku taburi bunga mawar untukmu..Dan berdoa untuk melepaskanmu..
Ayah, berlinang air mataku..(Ayah–LaoNeis)
Ia mengakhiri lagu yang ia putar, yang sebenarnya belum sepenuhnya selesai.
Menghela nafas, ia berdiri dan mengambil tasnya yang tergeletak kemudian berjalan turun menuju kelasnya, dengan handsat yang masih menempel di telinganya.
Ia berjalan santai menuju mejanya yang paling pojok belakang tanpa menghiraukan Bu Yuy yang sedang mengajar di kelasnya saat ini.
"Bulan!" panggil Bu Yuy.
Cowok yang dipanggil Bulan hanya duduk dengan santainya seakan tak ada yang memanggil.
"Selalu saja seperti ini. Kamu mau nilai Kamu merah semua? Kamu mau tidak naik kelas? Kamu mau, Bulan?" bentak Bu Yuy.
Bulan menoleh sekilas kemudian mengeluarkan ponsel dari celananya.
Bu Yuy yang merasa diacuhkan hanya bisa menghela nafas. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana sifat dan perilaku Bulan selama ini.
Selama ini tak ada yang pernah berani untuk duduk satu bangku dengan Bulan, jangankan duduk sebangku, menatapnya saja tak ada yang berani lama-lama.
Kelas tetap berlanjut setelah kejadian tadi. Tapi tidak dengan Bulan, ia lebih memilih tidur dengan telinga yang tetap tersumpal handsat.
***
Sekolah yang tak terlalu ramai, membuat cewek itu sedikit bernafas lega.
Matanya mengelilingi sekitar, ada rasa bangga saat ia bisa bersekolah di sekolah elite ini, sangat berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi keluarganya.
"Ayo, ibu antar Kamu ke kelas baru Kamu!" ucap salah satu guru menyadarkan cewek itu.
Kemudian tatapan cewek itu beralih ke ayahnya.
"Yah, aku takut disini sendiri," cicitnya.
Ayahnya tersenyum, "Apa yang Kamu takutkan? Bukannya bisa bersekolah disini salah satu dari impian Kamu?" ucapnya menatap lembut anaknya.
Cewek itu mengangguk ragu.
"Yasudah, Ayah pulang dulu ya?"
"Iya. Ayah hati-hati." pesan cewek itu seraya menyalimi tangan ayahnya.
"Kamu jangan takut. Disini orangnya ramah-ramah kok." hibur guru tadi.
Cewek itu tersenyum seraya mengangguk, "Iya, Bu."
Cewek itu berjalan pelan dibelakang guru tadi. Sesekali matanya melihat sekitar, lapangan yang luas, yang pinggirnya sengaja ditanami pohon-pohon dan bunga, sehingga terlihat lebih asri.
Langkah cewek itu terhenti saat guru tadi masuk kedalam kelas, dan meninggalkannya sendiri di depan kelas, ia menengok sedikit ke dalam kelas, tampak guru tadi sedang berbincang dengan guru yang mengajar didalam kelas.
Kelasnya bagus banget! Tapi gak mungkin ah, kalau kelas gue disini. Ngimpi gue tinggi bener!
Cewek itu melihat label yang menggantung di atas,
10 IPA-2
"Nak! Silahkan masuk." ucap guru tadi yang tiba-tiba sudah di luar kelas.
"Ini kelas saya, Bu?" tanyanya tak percaya.
"Iya. Ini kelas baru Kamu." ucapnya seraya tersenyum.
Ia menarik nafas dalam dan mengangguk. Kakinya sedikit gemetar saat memasuki kelas barunya.
"Anak-anak, kita kedatangan murid baru hari ini. Ayo perkenalkan namamu!" perintah guru yang mengajar di kelas barunya.
Cewek itu berdiri di depan papan tulis dengan wajah menunduk.
"Perkenalkan, nama saya Pelangi Ranica, biasa dipanggil Pelangi. Saya pindahan dari SMA Garuda. Semoga kalian mau berteman dengan saya."
Matanya sesekali melirik kedepan, melihat bagaimana reaksi teman-temannya saat melihat penampilannya.
Baju dari SMA lamanya yang terlihat kotor dan kumuh, sepatu butut yang tak layak pakai, dan kaos kaki yang sudah mengendur.
Banyak dari mereka yang berbisik-bisik. Dari yang memuja kecantikan wajahnya, melihat jijik penampilannya, dan menatap aneh sikap pemalunya yang berlebihan.
"Jadi, Pelangi ini pindahan dari SMA sebelah ya anak-anak." jelas guru tadi.
Tatapannya beralih ke Pelangi yang tetap menunduk, "Pelangi, Kamu duduk di sebelah Nesa ya."
Pelangi mengangguk dan berjalan kearah bangku yang diarahkan guru tadi.
Nesa sedikit menghindar saat Pelangi sudah duduk disebelahnya.
Pelangi mengulurkan tangannya,"Hai, nama gue Pelangi."
Nesa menatap aneh uluran tangan itu, kemudian mengalihkan pandanganya kedepan kembali.
Pelangi tersenyum maklum saat ulurannya tak dijawab oleh teman sebangkunya, kemudian menarik kembali tangannya.
Dia melihat kondisi kelas barunya. Meja yang bersih dari coretan, tak seperti kelasnya yang dulu, AC yang dinyalakan membuat kelas terkesan nyaman dan damai, dan penampilan teman-temannya yang terlihat jauh berbeda dari dirinya.
Gini ya rasanya sekolah di sekolahnya orang kaya batin Pelangi.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Sang Bulan
Novela JuvenilBulan, sosok dingin tak tersentuh, pemilik tatapan tajam, mampu membuat semua orang ketakutan. Setiap hari kerjaannya hanya membawa dan menulis buku 'diary', namun tak membuat ia dipandang rendah oleh siapapun, Karena semua orang tau, berurusan den...