Sabtu, 20 November 2010
Jalanan di depanku masih padat. Mobil-mobil masih berderet antri menunggu giliran jalan di perempatan lampu merah tempatku berhenti. Terlihat juga beberapa sepeda motor mencoba menerobos maju di sela-sela mobil yang sedang berjejer rapi tersebut. Panasnya sinar matahari sepertinya tidak menyurutkan para pengguna jalanan ini untuk menyusuri aspal hitam yang tak berujung ini.
Sekilas, aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam dua siang. Aku khawatir akan membuat mereka menunggu lama. Kecemasan semacam ini tak berhenti memenuhi pikiranku.
Hari ini, aku ada janji temu dengan teman-teman alumni MAN 30 Kota Malang, di salah satu mall di kota yang sama. Kami memang baru setahun lalu berpisah, tapi rasa rindu sudah begitu cepat menghampiri perasaan kami. Berawal dari percakapan iseng di grup, tiba-tiba tercetuslah ide untuk mengadakan reuni kecil ini.
Aku penggagasnya, bagaimana mungkin aku boleh terlambat?
Aku memarkirkan mobilku dan bergegas masuk ke pusat perbelanjaan terbesar di kota Malang. Hawa dari mesin pendingin ruangan pun langsung menerpa, menusuk kulit ketika kakiku melangkah melewati pintu depan mall, sangat berbanding terbalik dengan panasnya udara di luar gedung. Aku segera menuju tempat yang sudah kami janjikan sebelumnya. Pandanganku berkeliling mencari wajah orang-orang yang aku rindukan, berharap, mereka semua sudah tiba di sana.
"Hannah!"
Aku tersentak mendapati seseorang yang tak kukenal memanggil namaku. Sekilas aku mengira bahwa gadis cantik berkucir kuda itu memanggil orang lain yang kebetulan punya nama mirip denganku. Aku menghela napas, lalu memilih mengabaikannya.
"Hei, dipanggil-panggil nggak nyaut," tambah gadis itu.
Kali ini, aku memandang dengan seksama paras gadis berkulit putih itu, wajahnya terlihat seperti seseorang yang sudah kukenal sebelumnya. Dengan cepat, otakku mendata semua teman-teman yang mirip dengannya, tapi tak ada satu pun yang sesuai.
"Jangan bilang kamu lupa ...!" Gadis itu menggodaku sambil menyipitkan kedua matanya. Sepertinya, ia benar-benar tahu betapa bingungnya aku.
"Kamu bener-bener bikin aku terlihat kayak orang sok kenal, tau nggak? Aku Alma."
Hah ...?
Aku memekik kaget. Secara reflek, kedua tanganku bersatu menutup mulut yang menganga membentuk bulatan sebesar bola kasti. Abaikan mataku yang membelalak, kalian pasti akan lari ketakutan kalau melihat ekspresiku yang mengerikan sekarang.
"Astaghfirullah Ukhti, kenapa jilbabnya di lepas?"
"Tempatku kerja nggak ngizinin pakai jilbab."
Deg!
Hatiku sangat sakit mendengar jawabannya. Aku tidak habis pikir, bagaimana dia bisa terlihat tanpa beban membuka auratnya hanya demi sebuah 'pekerjaan' itu. Untuk ukuran aku yang tidak bisa menempatkan diriku pada posisinya, apa pun alasannya, menanggalkan jilbab itu tetaplah salah. Ingin rasanya aku menceramahi gadis itu habis-habisan, tapi mulut ini tak juga bersuara bahkan sepatah kata pun.
"Aku oper shift dulu, ya ... kamu mau nunggu di sini atau ikut aku ke dalam?"
"Aku ... aku nunggu di sini aja."
"OK, bentar yah ...," kata Alma sambil lari menghilang di balik pintu stan baju di depanku.
"Assalammu'alaikum," tambahku.
Niat hati ingin mengingatkan Alma tentang salam, tapi sepertinya ia tidak mendengarnya. Alma sudah berubah. Ia sudah bukan seperti Alma yang aku kenal setahun yang lalu.
Aku membuka tas, lalu mengeluarkan dompet kecilku. Pandanganku terpaku pada sebuah foto enam sekawan berjilbab lebar bergandengan tangan yang terselip di sela-sela lipatan dompet mungilku. Iya, itu adalah foto kami semasa MAN dulu.
Dulu, sebagai siswi Madrasah Aliyah Negeri, yang memang mengedepankan ajaran agama Islam, kami aktif sebagai anggota takmir masjid, dan kami selalu mempromosikan slogan 'Hidup Sesuai Syari'at Islam', termasuk ajakan untuk berseragam secara syar'i. Aku ingat benar bagaimana kerasnya usaha kami melobi pihak sekolah untuk mengubah aturan, seperti larangan penggunaan seragam ketat atau pun pemisahan kelas antara putra dan putri. Ahamdullilah, usaha kami berbuah manis; tidak sedikit teman kami yang kemudian berhijrah untuk mengganti seragamnya dengan seragam longgar dan jilbab lebar.
Sekarang, melihat perubahan Alma, membuat dada ini terasa sesak, seolah semua kerja keras yang kami banggakan di masa lalu berakhir percuma.
"Assalammu'alaikum, Hannah ...?" teriak dua gadis kembar sambil memperlihatkan wajah sumringah di depanku.
"Wa'alaikum salam ... Rani ...? Rini ...?" jawabku sambil menyatukan kedua tangan di depan dada, berharap bisa bersalaman seperti dulu ketika kami bertemu di pagi hari sebelum masuk kelas. Namun, tangan itu tak bersambut baik, gadis kembar itu justru melingkarkan tangannya di leherku dan memelukku, disusul oleh gadis yang satunya. Astaghfirullah, mereka sudah benar-benar lupa dengan budaya kami semasa sekolah dulu.
"Bagaimana perjalanannya? macet nggak?" tanyaku.
"Nggaklah, kami, kan ... naik kereta."
"Lah, katanya kemarin bawa kendaraan sendiri?"
"Males ah, si Rini nggak mau nyetir," jawab Rani.
"Kok aku? Kan kamu yang ngeluh kepanasan gara-gara AC mobil mati."
"Itu juga gara-gara kamu yang kelamaan benerinnya."
"Aku bukannya nunda benerin, kamunya yang susah diajak iuran."
"Haish, udah, udah. Kalian selalu aja nggak ada yang mau ngalah," tengahku.
Aku memerhatikan cara berbusana Rani dan Rini. Ini pertama kalinya aku melihat Rani memakai celana jeans ketat dan kemeja yang masih bisa mempertontonkan kulit lengannya. Dengan mengkombinasikan pashmina modern, ia benar-benar sangat cantik. Namun, dia tidak seharusnya memakai pakaian yang bisa memperlihatkan lekuk tubuh. Untuk apa dia berbusana jika orang masih bisa melihat besar pahanya atau putih kulitnya? Aku merasa, sekarang ia bukan Rani yang kukenal dulu. Dia telah berubah.
Begitu pun dengan Rini. Ia memakai longdress dengan atasan blazer setengah lengan, dengan jilbab segiempat yang dilipat menjadi bentuk segitiga, lalu dilingkarkan di belakang kepala. Ia benar-benar terlihat anggun, tapi seolah bertelanjang dada. Ia sama sekali tidak peduli, bahkan terlihat bangga saat ada pria asing yang memuji betapa menariknya dia. Rini, kini juga berubah. Sepertinya lingkungan baru benar-benar mengubah kepribadian mereka berdua.
Tak berselang lama, Alma kembali. Ia langsung mengajak kami segera ke dapur es krim, tempat Nisa sudah menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amri Fillah - [End]
SpiritualHannah, seorang mahasiswa yang hidup secara islami, menentang pacaran, pakaian ketat, serta membatasi diri dalam pergaulan. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Ariya, seseorang yang membuatnya jatuh cinta pertama kali, hingga ia mengabaikan hampir sem...