2 ~ Kamu Siapa?

5.1K 267 2
                                    

Nisa duduk manis di pojokan foodcourt yang menyediakan berbagai macam produk es krim kekinian saat kami menghampirinya. Bibirnya sebentar-sebentar menyunggingkan senyum sambil matanya tetap fokus memandangi layar smartphone-nya. Wajahnya terlihat anggun dengan balutan baju longgar dan jilbab lebar. Saat melihatnya, aku menghela napas lega. Syukurlah, setidaknya dia belum berubah.

"Tinggal Niken saja yang belum datang nih," kata Rini.

"Niken nggak jadi dateng, ada kegiatan BEM mendadak yang nggak bisa ditinggal katanya. Dia minta maaf sama kalian," jawab Nisa tanpa mengubah arah pandangannya.

Astaghfirullah, alasan macam apa itu? Dia membatalkan janji hanya gara-gara 'kegiatan BEM mendadak' itu?

Bukan aku menyepelekannya, tapi berbicara mengenai kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan, kami semua pun sebenarnya juga sama. Posisiku yang saat ini sebagai mahasiswa yang baru bergabung di BEM fakultas kedokteran gigi, jelas sama sibuknya. Terlebih ini awal-awal penerimaan mahasiswa baru, yang bahkan tidak memberikan kami waktu untuk bisa bernapas dengan tenang. Semua serba terburu-buru demi target dan tugas. Selain itu, kelasku pun juga lebih berat dari pada kuliah umum lainnya. Ditambah, rumahku cukup jauh dari lokasi kami bertemu saat ini. Teman yang lain pun juga tidak berbeda. Si kembar dan Nisa, ketiganya melanjutkan pendidikan di luar kota. Namun, mereka memutuskan untuk pulang demi menghargai janji yang sudah kami sepakati bersama.

Niken yang sekarang sudah tidak seperti Niken yang dulu, yang selalu memegang teguh sebuah janji.

"Jadi, kapan kamu mau ngambil surat keterangan lulusmu di sekolah?" tanyaku kepada Nisa. Namun, yang kutanya mengabaikanku. Ia justru terlihat lebih asyik dengan smartphone-nya dari pada menghargai kebersamaan kami. Tekhnologi sudah benar-benar mengalihkan dunianya.

"Ukhti ...," protesku sambil mencubit pelan lengan Nisa dan memasang muka cemberut.

" Eh, apa ... apa?"

"Ih ... Ukhti nyuekin," keluhku sambil berpura-pura merajuk.

"Eeeh, maaf-maaf."

"Lihat apa, sih? Kelihatannya Ukhti asyik sekali main ponselnya," timpal Rini.

"Maaf Ukhti, pacarku suka marah kalau aku telat balas chat-nya."

Pacar?

Aku terdiam, lebih tepatnya, aku tak tahu harus berkata apa. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka? Mengapa mereka semua berubah? Di mana motto 'Pacaran Setelah Menikah!' yang kami agung-agungkan di masa lalu? Apakah hanya aku, satu-satunya yang masih memegang prinsip 'Hidup Secara Syar'i' sampai sekarang?

Everyone was changed.

***

"Perhatian. Telah ditemukan sebuah dompet berwarna coklat di depan stan Assamba. Bagi yang merasa kehilangan, harap segera menghubungi pusat informasi. Atas perhatiaannya saya ucapkan terima kasih."

Sebuah pengumuman menggema dari pengeras suara di pojokan atas foodcourt.

"Hannah, coba dengerin pengumumannya," kata Alma memutus obrolan asyik teman-temana. Setelah semua orang diam, ia pun melanjutkan, "Bukannya itu tempat kamu nunggu tadi? Dompetmu nggak hilang, kan?"

Aku berpikir sejenak, lalu bergegas mengecek tas untuk memastikan dompetku aman. Dan ... benar saja, aku tidak menemukan apa yang aku cari. Aku baru ingat, aku lupa memasukkan dompetku gara-gara terlalu histeris bertemu dengan si kembar tadi.

"Astaghfirullah haladzim .... bener Alma, mungkin itu dompetku. Ruang informasi di mana?"

"Ayok, biar aku antar aja, dari pada kamu nyasar nantinya."

Aku dan Alma pun bergegas menuju ruang informasi. Sebenarnya kami tidak harus terburu-buru, tapi Alma tetap mengajakku lari sekencang mungkin. Alasannya sederhana. Alma khawatir, orang yang menemukan dompetku sudah lebih dulu pergi, sebelum kami mengucapkan terima kasih kepadanya. Karena itulah, aku jadi ikut-ikutan panik, sampai tidak sadar telah menabrak seseorang.

Namun, belum sempat aku melihatnya, sebuah ponsel mengenaiku, lalu jatuh di bawah kakiku. Layarnya menyala, menunjukkan bahwa si empunya tengah berada dalam panggilan dengan seseorang yang bernama 'Bunda'. Aku menjulurkan tangan hendak mengambilnya, tapi ternyata si pemilik lebih sigap dan lebih cepat meraihnya.


"Maafkan saya."

Suara lembut itu membuatku mengangkat kepala. Di depanku, berdiri seorang pria yang tersenyum sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, sambil badannya sedikit membungkuk.

Waktuku seolah berhenti. Pria itu mengatakan sesuatu lagi, tapi aku tak bisa mencernanya. Perhatianku tersita pada nitranya yang bersembunyi di balik kacamata, yang menyipit membentuk sebuah garis lurus saat bibir tipisnya melengkung. Ditambah ekspresi yang ramah, membuat pria yang berdiri di depanku ini terlihat sangat sempurna. Dalam sepersekian detik, mataku seperti tersihir untuk terus menatapnya, dan tubuhku seolah membeku sampai tidak bisa digerakkan sama sekali.

Pria ini benar-benar membuatku terpesona.

Tanpa menunggu responku, pria itu langsung pergi, meneruskan panggilan teleponnya dan berjalan cepat menuruni eskalator ke lantai bawah.

"Hannah ... ayo!" teriak Alma sambil menarik pelan tanganku.

Astaghfirulah haladzim ....
Astaghfirullah haladzim ...
Astaghfirullah haladzim ....

Aku membaca istighfar tiga kali. Aku merasa berdosa, aku lalai telah berzina mata hari ini. Namun, aku tidak bisa memungkiri, aku terpesona pada pria itu, terpikat pada penampilannya, dan tergoda untuk membayangkan merangkai masa depan bersamanya.

Astaghfirullah haladzim ... ingatku pada diri sendiri. Apa yang aku pikirkan?

Sesampainya di ruang informasi, setelah menjawab pertanyaan petugas untuk memastikan kebenaran pemilik, akhirnya dompet itu kembali kepadaku. Aku mengeceknya, dan tidak ada satu pun barang yang hilang. Aku menanyakan identitas orang yang menemukan dompet tersebut untuk mengucapkan terima kasih.

"Orang yang Mbak tabrak tadi itu yang mengembalikan dompet Mbak."

Apa? Pria tadi?

Tanpa perlu komando, kedua kakiku bergegas membawa tubuh ini berlari turun mengejar pria itu. Tak kupedulikan diriku yang lupa mengucapkan terima kasih, tak kupedulikan juga teriakan Alma di belakang yang memintaku untuk berhenti. Satu-satunya yang ada di pikiranku hanyalah menemui pria itu secepatnya, lalu mengucapkan terima kasih dan meminta maaf. Aku yang salah, aku yang menabraknya. Aku juga menambah salah karena mengabaikan permintaan maaf yang seharusnya akulah yang mengatakannya. Namun, sampai tubuh ini berada di luar Mall, dan nafas terengah-engah, sosok pria itu ... telah hilang.

Ya Allah, hamba ingin bertemu sekali lagi dengan pria itu.

Atas saran Alma, kami kembali ke ruang informasi untuk menanyakan identitas pria tersebut, tapi nihil. Mereka mengatakan pria itu tidak meninggalkan informasi apa pun.

Hingga acara reuni itu berakhhir, hingga aku sampai di rumah, hingga aku mencurahkan curhatan ini kepada Sang Pencipta, dan hingga aku beranjak tidur, pria itu masih tak hilang dari pikiranku. Tanpa sadar, aku membawanya ke dalam do'a malam ini.

Ya Allah, aku ingin mengenal pria itu ....

Amri Fillah - [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang