5 ~ Apa Ini Halusinasi?

4K 199 0
                                    

Rabu, 24 Maret 2010

Sudah dua bulan berlalu sejak aku bertemu dengan Arya.

Kedua sahabatku, mereka kadang masih mengingat orang yang Alvi sebut oppa itu, tapi sudah tak sesering ketika baru-baru kami bertemu dulu. Pembahasan mereka sekarang sudah berganti ke topik panas yang terjadi belakangan ini.

Namun tidak denganku. Tak peduli seberapa menariknya topik baru itu, aku masih memikirkan Arya. Aku masih terus berusaha mencari tahu tentang dia. Hampir setiap ada kesempatan, aku menghabiskan waktuku di depan komputer, mencoba menjelajah dunia maya menggali informasi lebih dalam tentangnya. Aku mengira, dengan kemajuan teknologi di zaman ini, hanya dengan mengetahui nama dan fakultasnya saja sudah cukup untuk memuaskan semua rasa penasaranku. Ribuan keyword sudah kutuliskan di kolom pencarian, tapi hasilnya nihil. Aku hampir menyerah saat tiba-tiba, ia muncul kembali ke hadapanku.

***

Siang hari di minggu terakhir bulan Maret, matahari bersinar sangat cerah. Hal itu sangat jarang terjadi, karena bulan ketiga biasanya masih masuk musim penghujan. Namun kali ini beda, seakan-akan mentari sengaja bersinar sangat terang untuk menyambut kedatangan seseorang. Namun sayangnya, kecerahan sang surya justru membuat suasana menjadi gerah. Produksi keringat pun juga semakin meningkat. Terlebih saat AC kelas mati, membuat kami merasa seperti terpanggang hidup di dalam ruangan tanpa ventilasi memadai itu.

Aku membutuhkan yang dingin-dingin, pikirku.

Aku berjalan menyusuri koridor, meninggalkan kelas tempat kami mengerjakan tugas kelompok. Sinar matahari yang menyusup masuk melalui sela-sela tiang membuat kulitku yang terbungkus batik biru ini terasa terbakar. Aku pun mempercepat langkah. Aku ingin segera sampai ke kafetaria dan memesan segelas es susu yang super dingin.

Ah, segar nya ....

Aku berdiri menghadapkan wajahku ke pendingin ruangan yang terpasang di pintu masuk kafetaria. Rasa panas yang kuderita sepanjang perjalanan tadi, terasa terbayar lunas hanya dengan berdiri beberapa detik di situ sambil memejamkan mata.

Untungnya, kafetarianya tak terlalu ramai. Dari pantulan kaca, aku bisa melihat hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk di dalamnya. Aku perhatikan mereka satu per satu, mencari adakah teman sekelasku yang juga berada di sana, yang mencoba kabur dari panasnya udara kelas sepertiku.

Pandanganku terhenti, saat melihat seorang pria sedang duduk manis sambil membaca buku di sudut kafetaria. Aku benar-benar tak percaya dengan dengan apa yang kulihat dari pantulan kaca. Kubalikkan badan, memastikan itu bukan halusinasi lagi.

Pria itu, Arya, berada di sini! Di kampus ini! Apa yang terjadi? Apa aku sedang bermimpi?

Kaget, senang, dan tak percaya bercampur menjadi satu. Ia duduk sendirian, santai dan tanpa canggung, seolah sudah terbiasa berada di sana. Dengan memakai atasan kemeja coklat bergaris-garis, dan bawahan celana kain berwarna putih tulang, ia sekilas terlihat seperti salah satu mahasiswa kampus ini juga. Lengan panjangnya dilipat sebatas siku, sementara ujung kemejanya dibiarkan menggantung, membuatnya semakin indah untuk dijadikan pemanja mata wanita. Ia menyandarkan punggungnya di tembok tua kafetaria. Tas dan jaketnya teronggok di kursi sebelahnya. Pandangan matanya tak sedikit pun beralih dari buku di tangannya. Sementara jus alpokat yang masih penuh di atas seolah tak menggugah perhatiannya.

A-a-assalammu’alaikum ....” Aku memberanikan diri menyapanya.

Wa’alaikum salam ... eeemmmmmm?” Ia menjawab sambil mengangkat jari telunjuknya sejajar dengan bahu. Reaksinya memperlihatkan ia sedang berusaha mengingatku.

Lalu, seolah mendapat petunjuk, jarinya meninggi dan senyumnya melebar. “Seminar motivasi kedokteran?” tambahnya.

Aku tersenyum. Sejujurnya, aku merasa sangat senang ia mengingatku, tapi aku harus sebisa mungkin menyembunyikannya. Harga diriku menolak tegas untuk memperlihatkan, betapa aku sangat merindukan pertemuan ini.

“I-iya, boleh aku duduk, Kak?”

Apa yang aku katakan? Ini tidak boleh. Hatiku menjerit memintaku menjauh, tapi entah mengapa mulut ini bertindak seolah bukan lagi bagian dari diriku.

Keringatku semakin menetes deras. Bukan karena grogi, melainkan karena konflik tak berkesudahan yang terus bergolak di dalam diriku.

“Iya, silakan,” jawabnya ramah, sambil menutup buku dan meletakkannya di samping meja.

Aku pun perlahan duduk di bangku di hadapannya, aku tidak bisa berbalik lagi. Jarak di antara kami hanya sebatas meja. Sejujurnya, aku ingin melihatnya, aku ingin memandangnya, aku ingin menikmati pemandangan yang kurindukan siang dan malam. Namun, entah mengapa mata ini tak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Kepalaku pun juga terasa tak punya tenaga hanya untuk sekedar menegakkan diri. Suasana yang semula sejuk, kini sepenuhnya berubah panas dengan sendirinya. Suhu tubuhku meningkat seiring dengan jantungku bergejolak seakan minta dibebaskan. Aku ingin bertanya banyak hal padanya, tapi mulut ini tak bisa bersuara.

“Saya Ariya,” katanya memperkenalkan diri.

“A-aku Hannah, Kak,” jawabku gugup.

Aku tahu ia memandangku. Ah tidak, lebih tepatnya, ia terkesan memperhatikan tiap inci wajahku. Ini adalah pertama kalinya ada seorang pria yang melihatku seperti itu, membuatku tidak bisa untuk tidak merasa canggung. Lalu, seolah menemukan sesuatu, ia tersenyum dan berkata, “Kamu ... baik-baik saja?”

“Ti-tidak," jawabku reflek, lalu segera meralat, "Eh, mak-maksudku, aku baik-baik saja.”

Ia bangkit berdiri, lalu tanpa mengatakan apa-apa, ia beranjak pergi ke meja kasir kafetaria.

Ah, bagaimana ini ....

Aku semakin tak bisa berfikir jernih. Apa yang kulakukan benar-benar memalukan. Aku ingin lari, lalu melupakan semua ini seolah tidak ada yang terjadi. Namun, bertemu dengannya adalah kesempatan langka, dan aku tidak bisa melepaskannya begitu saja.

Tak berselang lama, ia kembali duduk. Di tangannya ada sebotol air mineral. Ia merobek plastik segelnya, lalu membuka penutupnya, dan mendorongnya ke depanku.

“Minumlah,” katanya sambil tersenyum. Lalu, mungkin karena melihatku ragu, ia menambahkan, "Nggak ada racunnya."

Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Aku ingin mengambil minuman itu, tapi tanganku gemetaran. Hal itulah yang memaksaku untuk memilih memperhatikan saja botol itu, daripada menyentuhnya. Aku ingin menanggapi gurauannya, tapi belum sampai aku mengatakan sesuatu, seseorang tiba-tiba datang dan berteriak di samping meja kami.

“Kenapa kau nggak ngasih tau kalau datang sekarang?”

Dari seragam yang dipakainya, pastilah ia seorang mahasiswa jurusan keperawatan di universitas ini. Baik aku atau pun Arya, kami sama-sama mengalihkan pandangan ke pria itu, tapi hanya aku yang terkejut.

“Kenapa harus ngasih tahu? Bukannya kamu bilang, radarmu bisa mendeteksi keberadaan saya dalam radius kurang dari 10 kilometer?” jawab Arya.

Perawat itu terlihat kesal. Ia menarik napas dalam, sambil merapatkan giginya. Bibirnya bergerak, dan tangannya terangkat. Terlihat jelas ia tidak terima dengan jawaban  Arya. Ia ingin membalas, tapi tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.

“Samsul ...!” teriak seseorang yang lain lagi, mengagetkan kami bertiga.

Amri Fillah - [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang