"Aa bangun!" Abiana mengetuk pintu kamar Abi dengan rasa malas. Ini sudah ketiga kalinya dia kembali ke depan pintu dan berteriak berharap Abi akan segera bangun. Namun pria di dalam sana tidak juga kunjung memberi tanggapan. "Mau bangun sampai jam berapa sih, A?! Ini udah jam sepuluh pagi."
Abiana yang merasa geram akhirnya memilih membuka pintu kamar tersebut. Perempuan itu sukses melotot dan bergidik akan pemandangan di depannya. Ia buru-buru mematikan pemanas ruangan, lalu berjalan menuju gorden yang menjadi faktor utama mengapa kamar tersebut begitu gelap.
"Aa!" teriak Bia kepada Abi setelah ia menyingkap kain gorden. "Bangun! Terus mandi baru sarapan. Makanya Bia nggak mau tinggal bareng. Mendingan Bia di flat sendiri. Tinggal serumah terus ngurusin Aa kayak gini bikin capek tau, nggak?"
Bia terus saja mengeluarkan omelannya. Ia malas melihat sesuatu yang tidak rapi. Matanya suka sakit. Dan sang kakak benar-benar menguji imannya perihal kebersihan.
Dengan rasa gemas yang tinggal diledakkan, Bia mengambil guling yang tengah dipeluk erat oleh Abi dengan kasar. Lalu tanpa peringatan, memukuli tubuh Abi berulang-ulang.
"AA BANGUN!!!"
Sementara Abi, dia sudah sadar sejak tadi. Namun pukulan guling yang diberikan Bia secara bertubi-tubi benar-benar mengganggunya. Dalam sekali sentakan, dengan tenaga yang masih bersisa, Abi menangkap lengan mulus Bia hingga wanita cantik tersebut sukses terjatuh di sebelah Abi. Buru-buru Abi memeluk tubuh adiknya bagai memeluk guling.
"Panas, kan?" tanya Abi dengan suara serak tepat di telinga Bia. "Jangan ganggu Aa. Jangan teriak-teriak. Kamu keluar satu jam lagi, kan? Hati-hati. Maaf A nggak bisa anterin kamu."
Bia yang gerah akibat suhu badan Abi buru-buru melepaskan diri. Wanita itu berubah diam dan menatap Abi yang masih memejamkan mata. Lalu perlahan mengembalikan guling di sebelah Abi.
"Yaudah kalau gitu Bia bikinin bubur dulu buat Aa." Bia bersuara pelan, takut-takut bila Abi terganggu lagi. Lantas setelah mengatur letak selimut Abi, Bia keluar dari kamar dan menutup kembali pintu.
Abi yang tahu bahwa Bia sudah pergi buru-buru membuka mata. Pria itu memijit pelipisnya. Memikirkan seorang wanita yang jauh benar-benar sebuah perjuangan, tampaknya. Setelah seharian kemarin dia tidak mendapatkan kabar apapun dari Renat. Panggilan Abi tidak dijawab, pesan-pesannya pun tidak dibalas. Dan Abi sukses gila hanya karena memikirkan apa yang sedang Renat lakukan di benua sebelah sana.
Pria itu bangkit, duduk di atas tempat tidurnya sembari mengusap wajah dan rambut. Walau keadaannya sedang tidak baik, setidaknya Abi harus membersihkan badan. Bisa-bisa Bia menendangnya dari rumah karena jorok.
Diambilnya handuk dari dalam lemari, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Ah, disaat tidak enak badan seperti sekarang, tiba-tiba saja Abi merindukan kehadiran sang mama.
♦ r e t u r n ♦
Abiana Alula: Teteh.
Renat membaca chat baru yang datang dari Bia. Ia menggigit bibir sebab ada sedikit perasaan khawatir. Bisa saja bahwa Abi menyuruh Bia dengan sengaja menghubungi Renat. Lalu menanyakan semua kegiatannya sebab sejak kemarin Renat memang sengaja mendiamkan Abi. Renat pikir dia ingin sendiri.
Renata Edelweis: Iya.
Renata Edelweis: Kenapa, Bi?Abiana Alula: Teh, A Abi sakit.
Abiana Alula: Badannya panas banget tadi. Kemarin juga Aa nggak jelas banget. Keluar rumah sore terus baru pulang tengah malem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return 2: Home
Romance[SEQUEL OF RETURN] Renata, wanita yang tengah mengukir impiannya di Seoul setelah pulang dari Berlin---tempat dimana ia menyelesaikan pendidikan masternya. Menjadi seorang wanita karir adalah sebuah hadiah besar yang akhirnya Renat dapatkan setelah...