Spithame #3

68 3 1
                                    

“Dari dulu sampe sekarang, lo cuma bisa gambar beruang yang tangan dan kakinya angka enam?”

Nandya berdecih pelan. “Bawel, lo!”

Gadis itu masih berjongkok di taman, sambil menggambar beruang dengan bantuan ranting pohon. Ia melanjutkan gambar beruang dengan ciri yang sama percis seperti yang disebutkan Adrian. Gambar beruang yang ia gambar sudah hampir selesai. Di akhir, ia menambahkan gambar pita di kepala beruang itu. Katanya sebagai tanda kalau si beruang yang ia gambar itu betina.

“Nih, eskrim yang lo minta!”

“Bentar,” ucap Nandya.

“Ngapain lagi?”

“Gambar lagi, kasian dia masa sendirian. Nanti jones, kayak lo,” ejek Nandya.

Adrian mendecih pelan. Ia kemudian memperhatikan sahabatnya yang mulai menggambar lagi. Kali ini Nandya menggambar beruangnya sedikit lebih besar dari si beruang betina tadi. Dan tentu saja, tidak ada pita di kepalanya.

Selesai menggambar, Nandya membuat huruf N di perut beruang betina dan huruf R di perut beruang jantan.

Adrian memperhatikan huruf-huruf yang ada pada kedua beruang itu dengan heran. Ia bertanya-tanya, bukankah namanya dari huruf A? Lalu, siapa R yang dimaksud Nandya?

Selesai menggambar, rantingnya ia letakkan begitu saja di dekat kedua beruang yang digambarnya. 

“Mana eskrim gue?”

Adrian menyerahkan ice cream-nya pada Nandya. “R? Siapa?” tanya Adrian yang sejak tadi sudah sangat penasaran.

“Kepo!” ledek Nandya.

Adrian mendengus, kesal karena Nandya biasanya tidak pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Apapun ia selalu ceritakan pada Adrian. Bahkan, saat dulu bagaimana terkejutnya Nandya mendapati dirinya menstruasi pertama pada saat pelajaran Matematika di kelas delapan. Adrian, masih dengan jelas mengingat kejadian itu. Ia mengikatkan jaket kesayangannya di pinggang Nandya dan mereka pulang setelah Adrian memastikan tidak ada orang lain di sekolah itu selain penjaga sekolah.

Tak memperdulikan Adrian yang kesal, Nandya sibuk menghabiskan ice cream-nya. Sambil sesekali menatap langit yang mulai melukiskan senja yang indah.

“Kenapa setiap orang suka senja?” tanyanya.

“Gue enggak, tuh,” jawab Adrian sekenanya.

Nandya menatap Adrian. “Kenapa? Senja indah, loh! Bisa bikin mood kita bagus setiap kali ngeliatnya.”

“Tapi senja cuma bisa kita liat sekali sehari, itupun sore aja. Makanya gue lebih suka lo, bisa bikin mood gue bagus gak cuma sore aja, tapi tiap kali gue liat lo.”

Nandya memutar bola matanya sebal. “Ewh, gombal banget lo!”

Adrian tertawa. “Ya, emang. Lo kan mood booster gue!” kata Adrian sambil mengacak-acak rambut Nandya.

Nandya cemberut karena rambut yang ia ikat rapi itu kini berantakan. “Tapi lo, penghancur mood gue!”

Lagi-lagi Adrian tertawa. “Karena ledekin lo itu kebahagiaan tersendiri buat gue, Ya!”

“Jadi bikin gue bete itu hobi lo, Yu?”

“Seratus buat Yaya!”

“Ish!”

Adrian menarik ikat rambut Nandya, membuat rambut panjang gadis itu terurai. “Madep sana!” perintahnya.

Nandya menuruti Adrian, kini ia duduk menyamping di bangku taman itu. Adrian menggigit ikat rambut Nandya dan mulai mengumpulkan seluruh rambut cewek itu tanpa tersisa sedikitpun. Lalu ia, mengikatnya dengan ikat rambut tadi.

SpithameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang