Selepas Pak Adi akhirnya muncul di perpustakaan untuk "menjemput"ku, aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku ke kantin. Sebelum benar-benar keluar dari perpustakaan, aku beberapa kali melirik ke arahnya. Dia tidak beranjak dari kursinya. Padahal tadi Pak Adi sempat menceramahiku sebelum menyuruhku keluar. Kupikir setidaknya dia akan mengalihkan pandangannya, tapi tidak. Bahkan dia tidak bergeming dari tempatnya. Dia tidak mendadak berubah jadi patung kan?
Ah sudahlah, aku lapar.
Dengan itu aku melangkah meninggalkan perpustakaan.
***
Aku lupa, ngomong-ngomong namaku Dilan, nama lengkapku Diiiilaaaan –oke, itu gak lucu–. Jenis kelamin laki-laki. Umur 15 tahun. Aku kelas sepuluh, SMA Nusantara Bangsa. Aku punya –ehem– geng motor. Julukanku panglima tempur.
Oh, itu Piyan.
Dia salah satu dari teman gengku.
Sejujurnya teman dekatku tidak banyak. Alasannya, karena aku terlalu sering membuat masalah. Tidak ingin ikut terseret, akhirnya mereka menghindar. Kalau sekedar salam sapa atau membahas cewek di kelas sebelah, aku cukup akrab dengan temen sekelasku. Tapi hanya sebatas interaksi di kelas. Mereka memilih untuk tidak bergaul denganku diluar itu. Aku memakluminya. Lagipula aku juga lebih senang bergaul dengan para penunggu tetap di warung Bu Eem. Sedikit terperinci, itu geng motorku, Bu Eem dan beberapa orang lainnya.
Piyan sudah duduk di salah satu bangku kantin, dengan semangkok bakso yang mengepul dihadapannya. Aku memesan semangkok bakso terlebih dahulu, kemudian menghampiri Piyan.
"Yan", sapaku sambil menepuk pundaknya pelan. Kalau terlalu keras bisa-bisa dia tersedak kuah bakso.
"Oh, Dilan. Hukumannya udah selesai?"
Aku hanya mengangguk sambil meminum es teh yang baru saja diantar ke mejaku.
"Lagian kenapa bisa lupa ngerjain PR? Udah tau kan Pak Adi kayak gimana"
"Namanya juga lupa, Yan. Kalau inget ya bukan lupa lagi", mang Ujang datang mengantarkan bakso pesananku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku langsung menyantap bakso yang ada di depanku.
Dengan bermodal es teh yang sisa setengah, kami berdua memutuskan duduk lebih lama di kantin. Piyan membahas soal Pak Adi yang tidak berhenti menyinggungku karena tidak mengerjakan PR. Aku memutar bola mataku. Kurang puas apa sih Pak Adi? Tadi sebelum mengusirku ke perpustakaan sudah menceramahiku. Di perpustakaan juga mengomel lagi. Ternyata di kelas masih di ungkit juga. Pak Adi ketularan Bu Endang ya? Bedanya, kalau Bu Endang pasti mengomel sambil menjewer telingaku. Katanya biar aku dengar, makanya telingaku "dibuka".
"Ngomong-ngomong Pak Adi tadi ngasih PR lagi", Piyan buka suara saat perjalanan ke kelas.
"Tau kok. Aku dikasih bonus malah hahaha"
"Jangan sampe lupa lagi haha"
"Ya enggak lah, bisa-bisa bukan cuma diusir ke perpustakaan lagi kalau lupa hahaha"
Tawaku terhenti.
Terpaku di jarak lima meter dari pintu kelas ku, satu meter dari pintu..ada Rangga. Kak Rangga maksudku –dia kan senior–.
Bukan mau kepedean, tapi sepertinya dia menatapku. Refleks aku langsung mengalihkan pandanganku. Tidak mau terlalu terlihat kalau aku menatapnya.
Piyan sudah masuk ke kelas sedetik yang lalu, aku mencoba untuk berjalan perlahan. Bimbang, antara berjalan masuk ke kelas atau menghampiri sosok itu.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk pura-pura tidak melihatnya dan berbelok ke kelas. Daripada besar kepala dan mengira dia mencariku, kemudian menanggung malu. Lebih baik aku masu–
"Dilan"
Dia, Kak Rangga, memanggilku, mencegah kakiku untuk melangkah masuk. Aku menoleh, mendapati dirinya sudah berada lebih dekat dari pintu. Lebih dekat denganku. Dia tinggi, kepalaku hanya sampai dagunya.
Dan..
Dia wangi.
Rasanya aku ingin menampar diriku sendiri.
"Ya?", balasku.
Tangannya menyodorkan sebuah buku. Buku tulis bersampul coklat yang kubawa tadi ke perpustakaan. Aku benar-benar lupa kalau tadi sempat membawa buku. Bukannya segera mengambil buku itu, mataku malah dengan gilanya menatap wajahnya. Sialan dia benar-benar tampan. Maksudku, aku juga tampan, tapi dia memiliki level yang benar-benar berbeda.
"Ketinggalan", dia menyahut kembali karena aku hanya melongo di depannya.
"O..oh..makasih, kak"
Setelah aku mengambil bukuku, dia mengangguk singkat, kemudian berlalu begitu saja.
Mataku masih mengikutinya, sekedar ingin tahu dia berada di kelas mana. Sayangnya dia menghilang di balik lab kimia. Berarti dia kelas sebelas. Kupikir dia kelas dua belas, jadi aku bisa tau kelasnya dimana –kelas dua belas letaknya sejajar dengan kelasku–.
"Lan, ngapain?", Piyan menepuk pundakku.
"Lagi ngeliatin cicak", jawabku asal. Berlalu masuk ke kelas, meninggalkan Piyan yang berdiri di ambang pintu.
Tak begitu lama setelah Piyan duduk di tempatnya, Pak Joko masuk ke kelas.
***
Aku meregangkan tanganku.
Ini sudah saatnya pulang sekolah. Beberapa teman kelasku bahkan sudah keluar begitu bel berbunyi, salah satunya Piyan. Katanya mau ngumpul sama anak geng motor yang lain di warung Bu Eem, tapi aku sedang malas kesana. Pak Adi memberikan PR tidak tanggung-tanggung. Sesorean ini akan kupakai untuk mengerjakan itu.
Kuambil tasku yang tergeletak diatas meja, menyampirkannya di bahu, kemudian melangkah keluar. Menuju tempat aku biasa memakirkan motor. Aku melangkah melewati perpustakaan. Berhenti sejenak untuk sekedar mengintip ke dalam. Iseng. Karena tidak menemukan apa yang aku cari, akhirnya aku berjalan kembali ke parkiran. Menemukan motorku, memakai helm, kemudian pulang.
Sesampainya di rumah, kulihat Bi Diah sedang menyapu teras. Setelah menyapa sambil berbincang sedikit, aku masuk ke dalam rumah. Kutemukan Disa –adikku– sedang menonton tv di ruang tengah.
"Tumben pulangnya cepet?", Disa berceletuk.
"Hm-mm..banyak PR", sahutku sebelum menutup pintu kamar.
Selesai berganti pakaian, aku langsung membongkar isi tasku, meraih buku tulis dan buku paket Bahasa Indonesia, serta dua buku lain yang diserahkan Pak Adi waktu di perpustakaan tadi. Aku dapat bonus meringkas kedua buku itu. Juga beberapa lembar soal tambahan.
"Uuuh..PR kemarin halaman 75, yang baru halaman 90", gumamku sambil melipat sudut halaman, kemudian membalik halaman lagi, "tambahannya yang halaman 180, soal latihan ujian menengah semester. Oke, saatnya mengerjakan"
Kuambil buku tulisku, yang tadi sempat di pegang oleh kak Rangga. Ku elus pelan di bagian sampul buku yang sempat bersentuhan dengan tangannya. Mungkin ini sentuhan tangan tak langsung. Rasanya bagaimana ya kalau menggenggam tangannya.
Tunggu, kenapa aku harus memikirkan itu?
Oh, Dilan, sadarlah!
Setelah menepuk pipiku pelan, sekedar untuk mengembalikan keadaranku, aku membuka bukuku. Selembar kertas terselip di salah satu halamannya.
Saya tahu kamu memperhatikan saya dari tadi. Saya tahu kamu siapa Dilan, tapi saya tidak takut dengan geng motor kamu. Kalau kamu ada masalah dengan saya, temui saya di perpustakaan besok sepulang sekolah. Kita selesaikan berdua. Saya tidak ingin memperpanjang masalah.
–Rangga
Aku hanya bisa mematung setelahnya.
'DIA TAHU NAMAKU!'
Astaga, harusnya bukan itu yang kupikirkan. Tentu saja dia tahu namaku, tadi siang kan dia memanggil namaku. Dasar bodoh. Kenapa aku terdengar seperti Disa saat bergosip tentang cowok yang ditaksirnya.
Oke, sepertinya aku harus meluruskan kesalah pahaman ini. Besok. Di perpustakaan. Berdua. Hanya aku dan kak Rangga.
.
.
.
Wajahku memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penyair
RomanceDilan adalah remaja puber yang sedang mencari jati diri, menemukan sosok Rangga yang tampak seperti Dewa Yunani. Dari sebuah hukuman menjadi hubungan. Note : Lokasi cerita di Jakarta, 1997