Luapan Perasaan

577 108 22
                                    

Piyan menatapku heran seharian ini. Aku tidak mengerti apa yang salah di wajahku. Hubunganku dengan Piyan baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin. Kami saling menyapa pagi tadi. Dia sempat menanyaiku soal yang kemarin. Tapi aku tetap berpegang teguh dengan keputusanku. Aku juga sudah menjelaskan kalau Bunda menerima Kak Rangga. Kalau Bunda saja bisa percaya pada orang yang baru ditemuinya, kenapa aku tidak. Piyan akhirnya mengangguk mengerti. Tapi dia tetap meminta penjelasanku soal hubunganku dengan Kak Rangga. Yang sejujurnya aku sendiri belum yakin apa yang terjadi diantara kami.

"Mukaku kenapa?", Piyan menggeleng.

"Aku jarang melihatmu sebahagia ini. Apa yang terjadi kemarin?", aku berfikir sebentar. Sedangkan Piyan sudah memelototiku, "Jangan bohong"

"Siapa yang mau bohong?"

"Kamu kalau diam gitu pasti lagi nyari alasan!", tuduhnya. Aku langsung memukul lengannya karena gemas.

"Kita ke belakang sekolah sekarang", ucapku akhirnya.

Tempat ini memang sepi. Beberapa kali kesini aku hanya menemui Pak Wardiman dan Kak Rangga. Tidak pernah ada yang kesini selain kami. Aku mendudukkan diri diatas meja, Piyan duduk di sampingku. Kemudian aku menjelaskan apa yang terjadi kemarin. Tidak semua. Aku mengatakan kalau Kak Rangga semalam menginap di rumahku akhirnya. Bunda yang memaksa. Piyan yang masih tidak puas dengan ceritaku, tetap memaksaku untuk menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya aku bilang kalau aku tidur di ranjang yang sama dengan Kak Rangga, dua kali. Aku tidak akan cerita soal ciuman itu. Yang manapun. Entah Kak Rangga yang menciumku ataupun aku yang mencuri ciumannya.

Walaupun masih belum puas, Piyan akhirnya mengangguk saja. Kemudian dia mengalihkan pertanyaannya soal, apa saja yang kulakukan dengan Kak Rangga di perpustakaan. Tentu saja dengan senang hati aku menjelaskan semua yang kulakukan. Tidak ada yang perlu kusembunyikan. Toh, kami memang tidak melakukan apa-apa disana. Selain aku menatapnya yang sedang membaca buku, dia yang membantuku belajar, kami ngobrol. Hanya itu.

"Kak Rangga sudah tahu kalau kamu suka sama dia?", aku mengangguk.

"Sejak kapan?", tanyanya lagi.

"Hmm..kamu ingat saat kita ke ancol? Dua hari sebelumnya aku bilang. Tapi aku cuma bercanda awalnya"

"Bercanda?"

"Tidak sepenuhnya bercanda. Hari itu aku bilang padanya. Aku suka padanya, tapi kalau nanti malam purnama. Aku masih bingung dengan perasaanku, dan kupikir tidak ada salahnya menggodanya sedikit. Kupikir setidaknya dia akan berekspresi. Ternyata tidak. Yaaa sudah, aku pulang. Kumpul sama kalian"

"Lalu?"

"Aku gak ngerti ini karma atau kebetulan. Tapi...", aku melirik Piyan sebelum melanjutkan. "Malam itu purnama", Piyan langsung tertawa terbahak-bahak. Sialan aku diketawai. Puas sekali ketawanya.

"Makanya ngomong itu dipikir dulu, Dilaaan"

"Mana aku tahu kalau malam itu purnama! Saat gerhana bulan saja aku tidur", Piyan masih tertawa disampingku sampai kehabisan nafas. Setelah mengatur nafasnya, dia mulai menatapku penasaran.

"Artinya dia sudah tahu kalau kamu suka sama dia, kan", aku mengangguk.

"Dan selama ini dia tidak menjauhiku sama sekali", kali ini aku tersenyum bangga. Piyan ikut tersenyum.

***

Pulang sekolah ini aku langsung ke rumah Kak Rangga. Dengan semangat, begitu bel berbunyi aku langsung kabur keluar. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Kak Rangga. Tidak bertemu seharian di sekolah membuatku rindu. Sesampainya di rumah Kak Rangga, pagar rumahnya sudah terbuka. Aku langsung memasukkan motorku ke halamannya.

Sang PenyairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang