Kegundahan

640 129 7
                                    


Malamnya aku kembali tidak bisa tidur. Untungnya besok hari sabtu. Jadi aku bebas mau tidur jam berapa saja. Hanya gara-gara satu orang yang kutemui bahkan tidak lebih dari 24 jam, aku sudah kena insomnia. Kalau bertemu setiap hari mungkin aku akan langsung mati ditempat.

"Ngomong-ngomong dia lagi apa ya sekarang", sepintas pikiran itu lewat begitu saja.

Aku menepuk pipiku pelan, "Sudah pasti sedang tidur, Dilan. Ngarep apaan sih jam segini"

'Ngarep dia mikirin soal purnama itu mungkin', suara dalam kepalaku menyahut. Astaga, boleh kah aku menenggelamkan diri di sungai Ciliwung sekarang? Aku mulai mengkhayal yang tidak-tidak.

"Tapi kalau dia benar-benar kepikiran soal itu gimana ya..", bisikku lagi.

Setelah perdebatan sengit antara bibir, isi hati dan isi kepala yang tidak pernah sinkron entah beberapa lama, akhirnya aku tertidur. Saat bangun, jam sudah menunjukkan pukul 11. Bunda langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan begitu aku keluar kamar. Bunda pikir anaknya ini pingsan atau malah mati suri. Aku cuma menjawab seadanya kalau aku terkena insomnia dan baru tertidur paginya.

***

Selama dua hari ini aku terus memikirkan kata-kataku sendiri. Mengurung diri dikamar, berguling-guling diatas tempat tidur. Seperti gadis yang sedang kasmaran. Oh, aku memang sedang kasmaran –sepertinya–, tapi aku bukan gadis. Sebenarnya aku sendiri belum terlalu yakin dengan perasaanku. Mungkin saja ini rasa kagum yang salah kutafsirkan. Tapi tidak. Aku tidak yakin sebenarnya. Maksudku, memangnya apa yang kukagumi darinya? Aku baru tahu dia beberapa hari yang lalu, berbicara dengannya tidak sampai setengah jam. Kalau aku mengaguminya, aku akan meminta tanda tangannya. Bukannya berharap dia disisiku, menggandeng tanganku dengan tangannya yang besar, merangkulku, menghabiskan malam minggu dengan menaiki atap rumah dan berbaring sambil melihat bintang. Mana ada perasaan kagum yang seperti itu?

Pertanyaan yang sama selalu terlintas di otakku. Apa aku ini normal? Apa yang akan bunda dan ayah katakan kalau aku menyukai pria? Kemana otakku sewaktu di perpustakaan kemarin? Kenapa aku harus bicara seperti itu?!

Oh, kurasa aku sudah gila.

Tentu saja aku akan diusir dari rumah kalau ayah tahu. Itupun kalau beruntung. Bertahan hidup di ibukota yang kejamnya melebihi ibu tiri itu berat. Apalagi aku cuma bocah SMA naif. Tidak lebih dari seminggu mungkin akan ada yang menemukanku mengambang di sungai Ciliwung. Kalau mau cepat mungkin aku akan ditembak ditempat. Atau dibuang ke lubang buaya. Atau diserahkan ke petrus –penembak misterius–. Pilihan yang manapun aku akan tetap mati.

Mungkin aku akan coba bertanya pada Piyan. Sejauh ini dia cukup bisa diandalkan. Aku punya banyak rahasia-rahasia kecil yang hanya kubagi dengannya. Dan dijamin tidak akan bocor. Walaupun statusnya informan di geng kami.

***

Setelah berkeliling mencari Piyan, aku menemukannya di warung kang Ewok, ditemani oleh secangkir kopi yang sudah dingin. Tempat ini memang jarang kami kunjungi. Makanya tidak heran kalau hanya melihat satu atau dua orang anak geng motor disini. Biasanya kami nongkrong di warung Bu Eem, tapi tempat ini adalah salah satu tempat kesukaan kami. Tempatnya sedikit lebih jauh memang, makanya kami lebih sering kumpul di warung Bu Eem.

Aku menghampiri Piyan, berbincang sedikit sebelum akhirnya meninggalkan warung kang Ewok. Terlalu banyak orang yang kukenal disini. Aku ingin membahas ini berdua saja dengan Piyan. Aku mengajak Piyan ke pantai Ancol. Setidaknya disana tidak ada yang akan peduli dengan keberadaan kami.

"Jadi ada apa, Lan? Ga biasa kamu sampai ngajak ke ancol buat ngomong aja"

"Soalnya ini agak..rahasia. Kalau ngomong di warung kang Ewok nanti banyak yang nguping", kami tertawa bersama. "Jatuh cinta itu rasanya gimana sih?", tanyaku kemudian.

"Kamu lagi suka sama orang, Lan?"

"Sepertinya. Aku juga belum yakin, makanya aku nanya"

"Hmm..yang paling umum sih ga bisa berhenti mikirin dia. Kalau di depannya, kayak seluruh duniamu hanya berpusat ke dia."

"Kalau suka tapi belum kenal gimana?"

"Cinta pada pandangan pertama maksudnya?"

"Mungkin", aku mengendikkan bahuku.

"Banyak yang bilang itu bukan cinta, tapi nafsu. Karena yang kamu lihat pertama pasti fisiknya kan. Kayak..", Piyan menatap kedepan seperti mencari sesuatu. "Aku suka cewek disana karena cantik", Piyan menunjuk seorang perempuan yang sedang tertawa dengan temannya di tepi pantai.

"Jadi artinya aku tidak jatuh cinta padanya?", tanyaku lagi.

"Tidak. Kamu tetap suka sama dia. Cuma kamu belum kenal, makanya kamu bingung sekarang", Piyan terdiam, memandang ke depan. "Cinta itu rumit, Lan. Kamu tidak bisa langsung menyimpulkan itu. Apapun yang mendasari perasaan suka kamu sama dia, tidak akan menutup kemungkinan kamu jatuh cinta padanya. Aku percaya, cinta pada pandangan pertama itu ada. Hanya saja tidak instan seperti di film. Seperti kamu suka pada sebuah lukisan. Semakin lama kamu amati, akan kamu temukan kelebihan dan kekurangannya. Tapi sebanyak apapun kekurangan yang kamu temukan, kamu tetap ingin memandangnya. Cinta membuat kamu belajar menerima. Sederhananya mungkin seperti itu"

"Kalau suka ya kejar aja"

"Hmm..masalahnya aku tidak yakin dia akan suka padaku"

"Ah iya..kamu kan ga seganteng aku hahaha"

"Sialan"

"Ya masa kamu kalah sebelum perang. Panglima tempur apanya"

"Ini ga sesimpel itu sih, yan"

"Ya makanya deketin aja dulu. Mana tau gayungmu bersambut atau enggak kalau diem aja"

Selanjutnya kami sama-sama diam. Dalam keheningan diantara kami, aku memikirkan kata-kata Piyan. Ini artinya semua tergantung padaku. Apa aku akan melanjutkan atau tidak. Apakah aku akan tetap menatap lukisan itu atau meninggalkannya dan mencari yang lain. Entah kenapa tetap tinggal dan menatap lukisan adalah hal yang sudah seharusnya kulakukan. Menyelesaikan apa yang aku mulai. Seorang panglima tempur tidak akan menyerah begitu saja.

"Jadi..", Piyan memecah keheningan diantara kami. "Kamu gak mau cerita 'dia' itu siapa?"

"Belum saatnya Piyan", aku balas menatap Piyan yang sudah menatapku sedari tadi. "Aku akan memberitahukannya saat semuanya terasa benar bagiku".

"Yaaah..siapapun dia, dia berhasil membuat panglima tempur kita seperti ini. Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi", Piyan menepuk pundakku, tersenyum memperlihatkan deretan giginya.

"Terimakasih Piyan", aku tersenyum tulus.

'Akuharap disaat kamu tahu dia siapa, kamu akan tetap mendukungku', lanjutku dalam hati.    

Sang PenyairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang