Beberapa hari selanjutnya, kuhabiskan waktu istirahatku bersama Kak Rangga. Piyan sampai heran melihatku rajin ke perpustakaan belakangan ini. Aku hanya bilang kepadanya kalau aku sedang rajin membaca. Ya, aku ke perpustakaan membaca. Kadang juga mengerjakan PR atau belajar untuk materi ujian. Tapi lebih sering hanya membiarkan buku dihadapanku terbuka dan mataku terfokus pada yang lain. Kak Rangga tidak mempermasalahkan kebiasaanku ini, selama aku tidak berisik di perpustakaan.
Tapi ada juga dimana kami menghabiskan waktu berdua saja di perpustakaan, seperti waktu itu. Dikesempatan langka itu, aku bisa bebas ngobrol lagi dengannya. Tidak akan ada yang terganggu karena hanya kami berdua disana. Dan Kak Rangga tidak perlu khawatir ada sesuatu yang melayang ke kepalanya karena karma. Kak Rangga lumayan galak sih. Terutama kalau perpustakaan sedang banyak orang dan ada yang berisik. Dia tidak segan melempar benda apa saja untuk menegur pelakunya. Karena itu juga aku tidak berani membuka mulut selama aku tidak berdua saja.
Hari ini aku berjanji akan menemaninya mencari buku sepulang sekolah. Dia bilang akan menunggu di depan perpustakaan. Saat bertemu Bu Rahmi yang kebetulan akan keluar. Dia bilang tadi Kak Rangga berjalan ke arah belakang sekolah. Aku mengucapkan terima kasih sebelum melangkah menuju tempat Pak Wardiman. Tempatnya ada di belakang sekolah, dekat gudang. Biasanya dipakai Pak Wardiman untuk istirahat dan tempat nyimpan peralatannya. Aku sudah beberapa kali ke tempat itu. Kadang menemani Pak Wardiman makan siang, atau saat ingin mengobrol berdua dengan Kak Rangga tapi perpustakaan sedang ramai.
Saat melewati gedung olahraga indoor, terdengar suara sorak sorai di dalam. Hari ini ada pertandingan basket putri. Aku dari awal memang tidak tertarik untuk menontonnya. Jadi aku langsung menuju ke belakang sekolah.
Samar-samar kudengar suara ribut dari dekat gudang. Suaranya tidak terdengar jelas karena kalah dari suara ribut dari tempat pertandingan. Aku segera mempercepat langkah kakiku. Begitu sampai disana, kulihat Borne dan gengnya sedang berdebat dengan Kak Rangga.
"Jadi jangan macam-macam atau kamu akan berhadapan sama kami!", salah satu anak buah Borne membentak di depan wajah Kak Rangga.
"Kamu ga usah ganggu Cinta lagi", kali ini giliran Borne yang berbicara.
'Cinta? Anak mading yang marah-marah waktu di perpustakaan kemarin?', batinku.
"Saya yakin yang merasa keganggu cuma kamu dan boyband ini"
Borne langsung melancarkan pukulannya. Kak Rangga langsung menepisnya dan melayangkan pukulannya ke Borne. Aku sendiri langsung berlari kesana dan membantu, begitu kulihat anak buah Borne mulai main keroyokan. Kak Rangga sempat dipukul beberapa kali sebelum aku membantu. Dua lawan empat. Memang tidak imbang. Tapi dibanding Anhar, Borne tidak ada apa-apanya. Dia hanya anak orang kaya sok jagoan. Beraninya main keroyokan. Para anak buahnya pun sama saja. Hasilnya, aku berhasil mendepak dua diantaranya dalam sekejap. Borne masih menjadikan Kak Rangga samsaknya, salah satu anak buahnya memegangi tubuh Kak Rangga yang sudah lemas. Aku langsung menghajar Borne. Sekali pukul dia langsung lari.
"Kak Rangga", aku segera menghampirinya.
Kak Rangga terduduk lemas sambil menutup wajahnya. Ku singkirkan tangannya pelan. Rambut kritingnya yang menjuntai di depan wajah kusampirkan perlahan. Aku langsung memeriksa wajahnya. Sudut bibir dan pipinya lebam. Hidungnya berdarah. Perlahan kulepas kancing seragamnya, mengangkat kaos dalam yang dia pakai. Aku menelan ludahku. Mencoba untuk mengontrol diri agar tidak mengambil kesempatan. Saat mengusap bagian perutnya yang memerah, dia meringis kesakitan. Memang tidak ada lebam, tapi aku yakin kalau dibiarkan akan membiru. Aku sudah terlalu sering berkelahi dan mendapati tubuhku babak belur. Jadi sudah tahu apa yang harus kulakukan. Setelah merapikan kembali bajunya, aku meminta Kak Rangga menunggu sebentar disini. Dia mengangguk. Maunya langsung ku bopong, tapi mengingat tubuhnya lebih besar dariku, aku mengurungkan niatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penyair
RomanceDilan adalah remaja puber yang sedang mencari jati diri, menemukan sosok Rangga yang tampak seperti Dewa Yunani. Dari sebuah hukuman menjadi hubungan. Note : Lokasi cerita di Jakarta, 1997