Rasanya sekarang aku punya kegiatan baru. Jam istirahat pertama hari ini pun aku melangkah ke perpustakaan. Mencari sosok jangkung berambut kriting yang akan duduk diam sambil membaca buku. Tapi begitu sampai ke perpustakaan, dia tidak ada. Aku sudah menelusuri setiap lorong rak, namun nihil. Jangankan Kak Rangga, disini bahkan tidak terlihat seorangpun. Termasuk Bu Rahmi. Aku memutuskan untuk keluar mencari di ruangan Pak Wardiman. Kalau menurut Anhar, dia juga biasa ke sana. Saat akan melangkah keluar, kulihat Kak Rangga masuk ke perpustakaan. Wajahnya terlihat kesal. Ada apa lagi?
"Kak Rangga"
"Oh, Dilan", dia berjalan menghampiriku.
"Biar kuramal"
"Hm?"
"Ada yang ngajak berantem?"
"Tahu darimana?", alisnya menyernyit. Dia terlihat bingung.
"Sudah kubilang kan kalau aku peramal"
Kak Rangga mendengus geli, "Iya, iya"
"Jadi? Benar ada yang ngajak berantem?"
Kak Rangga tidak langsung menjawab. Dia berjalan menuju salah bangku, kemudian duduk disana. Akupun mengikutinya. Dia meletakkan sebuah surat yang sedari tadi digenggamnya keatas meja. Aku melirik ke arah surat itu. Sebenarnya karena surat itu juga kenapa aku menebak –iya menebak bukan meramal– ada yang menantangnya berkelahi. Mungkin saja surat tantangan, kan. Surat cinta tidak akan membuat seseorang terlihat kesal seperti itu.
"Sebenarnya tidak juga"
"Jangan bilang ke aku kalau ada yang menyakitimu. Nanti besoknya, orang itu akan hilang"
"Gak ada yang nyakitin saya"
"Yaa aku hanya bilang"
Setelahnya tidak ada yang kami bicarakan. Kak Rangga memungut buku diatas meja dan langsung membacanya. Tak lama dia sudah tenggelam dalam dunianya sendiri. Sedikit penasaran apa yang dibacanya sampai seperti itu, aku melirik sampulnya. Posisiku yang duduk disampingnya memudahkan ku untuk melihat. Tertulis Bumi Manusia di sampulnya. Perpustakaan ini punya buku ini? Aku hanya pernah melihat buku itu ada di rumah. Bunda sangat suka membaca buku, jadi cukup banyak buku di rumah kami.
Aku mencoba untuk mengalihkan perhatianku kearah lain. Dan mataku langsung tertuju pada surat diatas meja yang tadinya di bawa Kak Rangga. Sejujurnya aku penasaran apa isinya. Tapi aku tidak sekurang ajar itu membaca privasi orang. Aku sendiri tidak bukan orang yang suka diganggu masalah privasi. Jadi aku hanya meraih surat yang sudah keluar dari amplopnya. Kemudian memasukkannya ke dalam amplop coklat yang ada disana. Dan meletakkannya kembali keatas meja.
"Kenapa?", Kak Rangga mendadak buka suara. Matanya masih tertuju pada buku.
Aku yang bingung karena diberi pertanyaan seperti itu hanya diam. Menatapnya bingung. Sadar kalau aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan, Kak Rangga melanjutkan. Kali ini dia mengalihkan pandangannya dari buku.
"Saya pikir kamu ingin tahu apa isi surat itu"
"Disitu tulisannya untuk Rangga, bukan untuk Dilan. Sudah seharusnya yang membaca surat itu hanya yang bernama Rangga", dia hanya diam sebentar kemudian mengangguk mengerti.
Jam istirahat sudah hampir habis. Dan disini hanya kami berdua. Perpustakaan benar-benar sepi hari ini. Apa ini yang selalu dirasakan Kak Rangga? Aku tahu tempat ini sangat jarang didatangi orang. Apa dia tidak kesepian? Tapi kalau dilihatpun, dia bahkan tidak terganggu dengan kehadiranku. Aku sendiri bukan tipe orang yang nyaman sendiri atau tempat sepi. Aku akan lebih memilih pergi keluar dan kumpul dengan gengku. Daripada bosan dirumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penyair
RomanceDilan adalah remaja puber yang sedang mencari jati diri, menemukan sosok Rangga yang tampak seperti Dewa Yunani. Dari sebuah hukuman menjadi hubungan. Note : Lokasi cerita di Jakarta, 1997