[Author note]
Haloo Mayu here
Sebelumnya makasih buat yang udah vote story ini. Sebenarnya saya agak ragu post chap 3 ini. Awalnya saya berencana buat post chapter baru, kalau chap selanjutnya udah kelar. Biar ga mager sih. Tapi di chapter ini, ternyata chapter 4 belum bisa rampung karena ada kejadian diluar kehendak saya. Jadi kemungkinan chapter 4 akan sedikit lebih lama update, karena saya harus merampungkan chapter 5 juga. Dan daripada chapter ini terlalu lama bersarang di laptop, mending saya publish hehe
Ya udah sih gitu aja. Maaf ga bisa balesin komen satu-satu. Dan maaf kalau banyak kekurangan dan OOC dalam cerita ini. Selamat membaca!
*******
Aku tidak bisa tidur semalam.
Tidak sepenuhnya terjaga semalaman. Aku memang sempat tertidur sebentar, tapi kemudian terbangun. Memaksakan diriku untuk tidur lagi, namun ujung-ujungnya akan terbangun. Dan lucunya, entah itu saat aku tidur ataupun bangun, wajahnya selalu muncul di otakku. Mungkin aku sudah gila.
Pagi ini kuhabiskan waktu lebih banyak di depan cermin. Mataku merah, lingkaran hitam disekitar mata, wajahku sedikit lebih pucat. Bahkan kantung mataku terlihat seperti memiliki kantung mata lagi. Aku mencuci muka beberapa kali supaya terlihat lebih segar. Walaupun tidak terlalu berefek, tapi setidaknya ini lebih baik.
Tok tok
"Dilan, ini udah hampir jam 7, loh. Kamu gak pingsan kan di dalam?", suara bunda terdengar dari luar kamar mandi.
"Iya, bun. Bentar lagi Dilan keluar"
Setelah merapikan rambutku, aku bergegas keluar. Bunda masih ada di depan kamar mandi. Mengamatiku dari atas kebawah, mengecek apakah penampilanku ada yang berantakan. Waktu menatap wajahku, bunda sedikit mengeryitkan alisnya.
"Muka kamu pucat, sayang. Kalau sakit mending izin aja dulu", bunda mengelus kepalaku pelan. Sesekali usapannya berpindah ke pipi.
"Gapapa kok bun, cuma kurang tidur. Dilan langsung berangkat aja ya, udah telat"
Aku mencium pipi dan tangan bunda, sebelum berangkat. Menghampiri ayah yang duduk di ruang tamu membaca koran –ayah sedang bebas tugas sampai akhir minggu ini–, kemudian mencium tangannya. Setelahnya langsung berjalan tergesa menaiki motorku. Sepuluh menit lagi jam 7. Aku terlambat.
***
"Lan, kamu gapapa?", Piyan menghampiriku dengan panik.
Oh, sekarang sedang pelajaran olahraga. Aku jatuh. Wajahku dicium atau tepatnya dihantam bola voli. Aku mengelus dahiku, sesekali memijitnya pelan. Kepalaku pusing. Efek kurang tidur, lemas, lapar dan bola voli. Aku masih belum bergerak sedikitpun dari tempatku terjatuh. Beberapa teman sekelasku sekilas kulihat mendekat. Pak Yanto yang melihatku tidak bergerak ikut mendekatiku.
Tangan Pak Yanto menarik tanganku yang kugunakan untuk mengelus dahiku tadi. Daguku diangkat sedikit untuk melihat kondisiku.
"Wajahmu pucat, kamu sakit?"
Ini sudah pertanyaan ke-lima hari ini. Sebelumnya ada Piyan, Bi Diah dan satpam sekolah yang menanyaiku. Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.
Seakan tak percaya, Pak Yanto menyentuh dahi dan leherku. Membandingkan dengan suhu tubuhnya.
"Badan kamu agak hangat loh. Sekarang lebih baik kamu ke UKS. Bapak takut kamu malah pingsan disini", Pak Yanto dan Piyan membantuku berdiri. "Tolong kamu antar Dilan, ya", katanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penyair
RomanceDilan adalah remaja puber yang sedang mencari jati diri, menemukan sosok Rangga yang tampak seperti Dewa Yunani. Dari sebuah hukuman menjadi hubungan. Note : Lokasi cerita di Jakarta, 1997