Third Voice: Dull Light in Despair (I)

596 120 31
                                    

PEKERJAANNYA menyita seperempat jam karena Wonwoo baru menutup laptopnya pukul sebelas. Di awal, ia hanya berencana merapikan sejumlah dokumen, tapi surel atasannya yang masuk tiba-tiba mengatakan berita kurang menyenangkan bahwa beliau butuh pengganti untuk mengisi sebuah seminar. Pada akhirnya, Wonwoo memutuskan berbuat baik dengan mengajukan diri dan ia berujung dengan berselancar mencari bahan di internet.

"Min-gyu?" panggilnya di depan pintu kamar. Kemudian ia ingat, Mingyu pasti sudah pulas duluan. Ia masuk, "Ma-af, a-ku ha-rus me-nger-ja-kan tu-gas tam-bah ...?" Yang ia lihat adalah ranjang dengan bantal tertata apik serta selimut yang tak pernah disentuh.

Wonwoo melangkah ke kamar mandi. "A-pa ka-u a-da di da-lam?" Tangannya memutar kenop dan ia juga tidak mendapati Mingyu di sana.

Dengan urgensi tertentu, Wonwoo membongkar lemari pakaian mereka. Masih rapi tapi ia tahu baju-baju Mingyu menghilang. Dibukanya laci nakas, dan jam tangan Mingyu juga menghilang. Ponsel Mingyu, yang biasa diletakkan di atas meja juga tidak ada.

"Min-gyu!"

Turun ke lantai bawah dengan panik menggelayuti tengkuk, Wonwoo nyaris tersandung di tikungan tangga. Ia menelusuri dapur, taman kecil di belakang, naik lagi demi mengecek beranda dan kembali ke ruang kerja tapi Mingyu tetap tidak di mana pun. Wonwoo akan keluar mencari pertolongan tetangga ketika kakinya menyentuh badan seseorang.

Jantungnya meluncur ke dasar sebab Mingyu tergeletak di ruang depan. "Min-gyu!"

➖➖➖

AMBULANS yang dihubunginya tidak memakan waktu lama untuk tiba. Mingyu dibaringkan ke pandu, lalu mereka membelah jalanan dengan sirine nyaring. Wonwoo duduk di sisi perawat laki-laki bersama rasa khawatir yang semakin banyak.

Setengah jam terasa seperti bertahun-tahun. Dokter keluar dan mencari anggota keluarga Kim Mingyu. Wonwoo menunjuk dirinya, "Ba-gai-ma-na de-ngan-nya?" Ia kesulitan meredakan perasaan yang campur-aduk. Dokter itu tersenyum dan menepuk pundaknya sebab mereka tidak perlu buru-buru. Wonwoo meredakan napas yang memburu, lalu mengatur suara. Tubuhnya ikut bicara: "Saya hanya ingin tahu keadaannya sekarang."

"Kami menemukan ada benturan ringan di kepala. Kemungkinan besar dia pingsan karena syok."

"A-pa-kah i-tu ber-dam-pak se-su-a-tu pa-da-nya?"

"Kita belum bisa tahu sepenuhnya hingga pasien bangun," ujar dokter itu. "sekarang," Ia mengambil napas, "lebih baik Anda pulang dulu dan istirahat. Dari yang kulihat, Anda adalah satu-satunya yang patut dikhawatirkan dengan kantung mata tebal begitu."

"Ah, ba-ik-lah."

Tapi alih-alih pulang, Wonwoo masuk ke kamar rawat Mingyu setelah dokter pamit untuk pergi ke bangsal pasien lain di sayap kanan.

Mingyu dilapisi selimut garis-garis hingga ke bawah leher. Di tangannya yang besar dan kasar, selang IV menancap. Wonwoo tak bisa memandangnya tanpa menyelipkan simpati dan iba. "A-ku ti-dak ta-hu a-pa yang se-be-nar-nya i-ngin ka-u-la-ku-kan ta-pi a-ku jan-ji ti-dak a-kan ma-rah a-pa pun yang ka-u-ka-ta-kan nan-ti. Ja-di, ce-pat-lah sa-dar."

Saat pagi datang, Mingyu masih belum terbangun sementara Wonwoo punya janji tertentu. Pria itu melangkah berat dan meninggalkan Mingyu dengan janji akan segera kembali. Setelah beberapa lama, Mingyu membuka matanya, mengesah yang campuran sedih dan harapan semoga Wonwoo baik-baik saja.

Dokter semalam masuk dengan langkah yang dihentak sedikit keras.

"Kau tidak bicara macam-macam padanya, bukan?" Mingyu memanggil tanpa bergerak dari ranjang, "Dokter Hong."

HERTZ | MeanieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang