SUDAH kukatakan berkali-kali kepada Cami kalau mengikuti perkataan Brad–si tukang rundung cap jempolan sekolah–adalah ide yang buruk.
Malam ini adalah malam minggu yang kelam. Langit tampak kusam dan bintang-bintang tertutupi kabut. Angin bersuhu dingin bertiup lebih kencang daripada biasanya, padahal sekarang masih awal September. Musim dingin di Denver baru dimulai dua bulan lagi. Bulu kudukku secara serempak menegak di leher dan lengan. Intuisiku, satu-satunya hal menonjol dari semua ketidakistimewaanku sebagai gadis yang biasa-biasa saja, bahkan mengatakan hal yang sama. Akan ada sesuatu buruk yang terjadi, dalam waktu dekat.
Siang tadi, di sekolah, Brad dan gengnya mengumumkan kepada semua murid di kelas A-1 untuk menghadiri pesta ulang tahun Brad yang diadakan di kompleks pemakaman lama yang terpencil dan terletak di belakang pabrik industri yang tak lagi beroperasi. Cerobong-cerobong asap pabrik tampak hitam menjulang dilatarbelakangi langit malam yang mendung. Aku merapatkan kardigan ke depan badan dan menarik ujung belakang jaket jeans yang dipakai Cami.
"Kau tahu kita tak perlu menghadiri pestanya, Cami," kataku. Gerbang pemakaman sudah tampak di mataku. Hitam, berkarat, dan ada gerendel yang setengah terlepas dari pegangan gerbangnya. Aku tidak bisa melihat anak kelas A-1 di mana pun. Mungkin ini akal-akalan Brad untuk menjebak aku dan Cami. Meski tak pernah memancing perkara dengannya, Brad gemar mengganggu kami. Kami dinilai kaku dan membosankan–karena itu, Brad memberi kami julukan eksklusif yang mana adalah Duo Cupu. Kurang ajar, 'kan?
"Sssh, Janeth, kalau kita tidak mau dicap lagi sebagai Duo Cupu, kita harus pergi ke acara-acara seperti ini," ucap Cami. "Jujur saja, aku sekali-sekali juga kepingin datang ke pesta daripada mendekam nonton film hantu bersamamu dan Joy."
Menonton film hantu dengan cihuahuaku–Joy–seratus kali lebih baik ketimbang pergi malam-malam dan menyusup ke dalam pemakaman hanya untuk mendapat pengakuan keren dari Brad dan gengnya. Aku tidak butuh pengakuan dari siapa-siapa kalau aku ini keren. Aku sudah nyaman dengan diriku yang sekarang. Tapi, jalanan yang sepi di belakang dan lampu jalanan yang berkedip-kedip seolah hendak mati membuatku urung berputar balik. Aku tidak punya pilihan selain berjalan terus.
Cami mengeluarkan ponsel dari saku jeans-nya dan melihat ulang SMS yang tadi sore dikirim Brad kepada semua murid di kelas A-1 terkait detail-detail pestanya.
Pertama, aturan berbusana yang dicetuskan Brad mengharuskan kami memakai pakaian berwarna hitam-hitam. Itu penting untuk membantu kami berkamuflase di keremangan, sehingga kami akan aman jika ada petugas yang berpatroli–walau aku ragu ada petugas yang mau repot-repot mengawasi tempat ini.
Kedua, kami diharuskan membawa minuman beralkohol. Aku dan Cami tidak betul-betul membawanya, tentu saja. Kami membawa dua kaleng Sprite dan dua diet coke sebagai gantinya. Dan yang ketiga, kami harus membawa senter masing-masing karena penerangan yang buruk di tempat ini.
Kerikil berkeresak di bawah sepatu ketsku yang talinya mulai terlepas dari ikatan. Sambil berkata kepada Cami untuk berheti sejenak, aku membungkuk dan mengikat ulang tali sepatu. Cami memasukkan ponselnya dan berdiri di depan gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fallen's Redemption
FantasyJaneth tidak menyangka bahwa tantangan bodoh dari salah satu temannya untuk mencium sebuah patung malaikat di sebuah pemakaman terbengkalai akan mempertemukannya dengan laki-laki misterius yang mengaku berasal dari surga. Seolah keanehan itu belum c...