Warteg Sasari, 3

30 3 0
                                    

7.20, kamu biasanya menelepon.

Tapi kini tidak akan lagi.

Meskipun begitu, di waktu yang sama, aku selalu memandangi ponselku dengan harap-harap cemas. Rasanya jantungku berdebar lebih keras tiap ponselku berdering sekitar waktu itu.

7.22, sudahlah kamu tidak akan menelepon. Aku mencaci diri.

7.24, ponselku berdering nyaring. Aku terkejut dibuatnya. Nomor asing? Ragu, aku mengangkat sambungan telepon.

"Halo?"

"Hai, Ale."

Aku terperangah. Aku kenal suara ini. "Gerald?" tanyaku memastikan.

Kamu tertawa. "Iya, ini aku."

"Ah, hei."

"Lagi ngapain?"

"Menyendiri di rumah." Aku menjawab singkat.

Kamu terdiam beberapa saat. Helaan napas beratmu terdengar kentara. "Maaf ya, Ale."

Aku mengerutkan dahi. "Maaf kenapa?" tanyaku heran. "Kamu ini dari dulu suka sekali meminta maaf," tuturku.

"Iya, maaf. Maaf juga karena sudah sering meminta maaf."

...

"Ale?"

"Iya. Aku masih disini."

Kamu terkekeh ringan. "He-he. Ah, iya. Coba kamu ke luar rumah sekarang," katamu.

"Ada apa?" Ada apa menghubungiku lagi? Ada apa yang terjadi di luar rumahku?

"Ada aku."

Aku tersentak mendengarnya. "Kamu serius? Kita kan beda pulau."

Kamu tidak menjawab. Awalnya aku meragu. Namun, kakiku melangkah ke luar kamar. Aku membuka pintu rumah secara perlahan. Tenang, Ale. Jangan berpikiran macam-macam. Mana mungkin dia rela menyebarangi pulau demi aku.

Sayangnya, kosong.

"Nggak ada siapa-siapa, Gerald." Aku geram.

"Serius. Ada aku. Coba lihat ke atas."

Aku bergidik. Memangnya sekarang Gerald ubah diri jadi spiderman? Akan tetapi, aku menuruti pintanya. Aku mendongakkan kepala. Yang ku lihat hanyalah langit malam yang kelam.

"Gerald, aku serius," ujarku.

"Aku juga, Ale. Ada aku disitu. Katamu aku seperti bulan. Kamu lihat, kan, bulan yang menyempil di langit malam? Maaf sempat menghilang beberapa waktu, membuatmu menjadi tidak suka, menjadikanmu kecewa. Malam ini, bulan itu muncul kembali dan takkan menghilang lagi."

Ku pikir, aku salah berlabuh dan kamu bukanlah rumah. Namun, sekarang aku sadar. Kamu benar-benar ada.

"Iya, Gerald... menyempil seperti cabe di warteg sasari, ya?" aku menimpali.

Tawamu pecah usai aku berkata begitu. Aku pun ikut tertawa mengingat kenangan yang satu itu. Hari itu, kamu benar-benar lucu.

"Nanti abis kamu pulang kita makan disitu lagi, ya? Anti mainstream pacaran disitu."

"Idih. Tiap hari malah aku kesitu."

"Ya, nggak apa-apa. Jadinya tiap hari ketemu kamu. Nanti kita bangun warteg sendiri juga."

"Ih?"

"Jadi, gimana kabar anjing kamu?"

Cerita kita mengalir beradu cepat dengan sang waktu. Malam ini, aku menangkap bulan. Ku sembunyikan ia dalam jaring yang dibungkus tarantula. Takkan ku lepas lagi. Tak akan pernah.

Entah bagaimana dengan kamu.

Semoga kamu juga, ya, Gerald.

Gerald!Where stories live. Discover now