5. PINK HEARTS

99 30 10
                                    

Ketika umurku 13 tahun, orang tuaku pindah ke kota dan aku masuk ke sekolah baru. Saat itu aku adalah anak yang pemalu, sehingga aku tak punya teman. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menyesuaikan diri.

Anak-anak perempuan lain tampak lebih dewasa daripada aku. Banyak dari mereka sudah punya pacar, sedangkan aku mencium cowok saja belum pernah.

Aku sama sekali tidak terbiasa mendapat perhatian dari anak cowok. Aku selalu merasa sangat malu atau merasa diolok-olok setiap kali ada yang tersenyum atau mengedipkan mata padaku. Aku tak pernah menganggap diriku ini cantik dan tak berpikir kalau anak-anak cowok akan tertarik padaku.

Lalu, pada suatu hari, aku menemukan sepucuk surat di dalam lokerku. Terbungkus amplop biru mungil, dengan tempelan stiker gambar hati merah muda sebagai perekatnya. Di dalamnya, terdapat secarik kertas, bertuliskan:

"Aku rasa kamu itu cantik."

Itu membuatku tersipu. Sungguh manis dan polos. Aku penasaran siapakah pengirimnya, namun aku tidak berniat untuk mencari tahu. Ku selipkan surat cinta itu diantara lembaran buku pelajaran dan mulai berkhayal tentang si pengagum rahasiaku yang baru.

Mungkinkah dia si cowok manis yang tadi memperbolehkanku meminjam pensilnya saat kelas matematika? Ataukah teman sekelompokku di lab ipa yang selalu membuat pipiku bersemu merah setiap kali ia tersenyum padaku?

Mungkin juga dia adalah cowok di kelas sejarah yang berbagi buku pelajaran denganku karena aku lupa bawa. Dan bisa saja dia adalah kakak kelasku si jangkung berbadan tegap yang gemar menulis puisi dan menghabiskan waktunya mengendarai sepeda motor itu.

Aku sangat senang selayaknya anak remaja lain, yang tengah dilanda cinta monyet, membayangkan rasanya bergandengan tangan dan mungkin berciuman untuk kali pertama. Setiap sedang sedih, aku mengeluarkan surat itu untuk kubaca lagi. Dan itu selalu berhasil membuatku tersenyum.

Beberapa hari kemudian, saat membuka loker, aku menemukan sebuah surat lagi. Kali ini amplopnya berwarna ungu, namun segelnya sama, yaitu stiker hati merah muda. Dengan begitu senang hingga membuatku gugup, perlahan ku buka amplopnya, dan kukeluarkan surat di dalamnya. Tulisannya adalah:

"Kamu sangat menawan."

Kudekap erat surat itu di dadaku, dan mendesah bahagia. Selama sisa hari itu, aku berjalan melewati koridor sekolah dengan senyum sumringah menghiasi wajahku. Akhirnya, ada seseorang yang benar-benar menyukaiku.

Membuatku merasa istimewa, aku ingin meneriakannya ke sepenjuru sekolah, tapi tentu saja aku terlalu malu untuk itu, jadi kusimpan semuanya sendiri, dengan cermat menempatkan surat-surat itu di tempat aman dalam buku jurnalku.

Kuhabiskan beberapa hari selanjutnya menebak-nebak siapakah pengagum rahasiaku itu sebenarnya, tapi aku tak punya petunjuk sama sekali. Pastinya, yang aku tahu orang ini adalah sesama murid di sekolahku, tapi siapa? Yang bisa kulakukan hanyalah berharap bahwa dia adalah cowok yang aku sukai.

Seminggu kemudian, sepucuk surat mungil kembali muncul di lokerku. Tersegel dengan stiker hati merah muda yang sama lagi. Tulisannya:

"Aku selalu memikirkan kamu."

Seiring berjalannya waktu, aku semakin merasa penasaran. Aku mulai sering melamun dan berhenti memperhatikan pelajaran.

Suatu hari, saat kelas sejarah sedang berlangsung, aku terlalu sibuk memikirkan penggemar rahasiaku, hingga aku tak sadar kalau guru mengajukan pertanyaan padaku. Dan saat aku kembali ke dunia nyata, ia menoleh ke murid-murid lain lalu berkata, "Anak ini tak mendengarkan satupun perkataanku. Pasti dia sedang jatuh cinta!" Mereka semua tertawa dan aku sangat malu dibuatnya, hingga wajahku memerah.

Ketika surat berikutnya muncul, tulisannya:

"Kau beraroma seperti cinta itu sendiri."

Hah? Aku tak tahu bagaimana harus bereaksi akan hal itu. Bauku yang sebenarnya adalah campuran dari aroma sampo dan deodorant. Apakah cinta juga beraroma semacam itu? Kusimpan surat itu bersama yang lainnya dan tak sabar menunggu surat berikutnya.

Aku tak harus menunggu lama. Karena esoknya, sepucuk amplop merah muda sudah menanti di dalam lokerku. Tulisannya:

"Aku ingin merasakanmu."

Itu membuatku agak ngeri. Surat yang muncul selanjutnya malah lebih mengerikan.

"Aku mengawasimu setiap saat."

Mendadak, punya pengagum rahasia tak lagi menyenangkan. Dia mulai terdengar seperti penguntit. Aku tak tahu harus bagaimana. Tak ada yang bisa kuajak bicara tentang ini.
Hari demi hari pun berlalu, dan kecemasanku semakin menjadi-jadi. Di setiap aku memandang, kulihat stiker hati merah muda. Aku mulai merasa ketakutan.

Di pagi harinya, saat ibu mengantarku berangkat sekolah, kulihat sebuah stiker melekat pada jendela mobil kami. Ibu tak tahu bagaimana stiker sialan itu bisa menempel di sana.

Pernah suatu kali, setelah aku keluar dari toilet sekolah, dan hendak membasuh tanganku di wastafel, di cermin kulihat ada stiker hati merah muda menempel pada pintu bilik toilet yang baru saja kumasuki. Aku yakin sebelumnya tak melihat stiker itu disana, dan tak kudengar ada orang selain aku masuk ke toilet ini.

Aku mulai merasa terancam jika mendapati stiker-stiker hati itu dimanapun. Aku adalah gadis yang sangat tertutup, aku takut mencurahkan masalahku pada orang lain. Jadi satu-satunya cara menyedihkan yang dapat di lakukan oleh gadis remaja pemalu sepertiku ini adalah... Membisu dalam penderitaan.

Kemudian, keadaan jadi sangat buruk. Suatu hari, pulang dari sekolah, aku sungguh dibuat ngeri setelah mendapati amplop putih didalam kotak suratku. Tutupnya tersegel oleh stiker hati merah muda jahanam itu. Artinya sekarang, dia sudah tahu tempat tinggalku.

Dengan tangan yang gemetaran, kukelupas stikernya dan kubuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada selembar foto. Foto seorang pria dewasa, telanjang dari pinggang ke atas. Di tangan kanannya, tergenggam sebilah pisau. Di dalam amplop terdapat pula sebuah catatan. Yang bertuliskan:

"Aku bertaruh kalau darahmu rasanya seperti stroberi."

Aku menjerit. Kemudian aku melihat sesuatu di foto yang memenuhi otakku dengan teror. Pria itu memotret pantulan dirinya di cermin, tapi dia memburamkan bagian wajahnya.

Sayangnya, dia agak ceroboh. Terlihat di cermin pantulan sebuah bingkai foto yang terpajang pada dinding di belakang pria itu. Dan aku mengenali wajah pria di bingkai foto tersebut.

Itu adalah guru sejarahku.

***

HORROR STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang