Penculikan

65 7 2
                                    

Hal yang terakhir kali Seung Hyun ingat adalah, ia sedang membereskan barang bawaan miliknya untuk dibawa ke seminar. Semuanya sedang ia masukkan ke dalam tas; laptop, buku catatan, alat tulis dan barang-barang lainnya yang ia anggap penting. Mungkin satu buku terselip untuk hiburan semata. Ia hanya tidak ingat bahwa ia telah berjalan ke parkiran menuju mobilnya.

Jadi, kenapa ia tengah berada di kursi belakang mobilnya?

"Good morning, princess."

Ini bukan pagi hari, respon yang ingin ia berikan kepada orang yang menyebutnya sebagai tuan putri. Apalagi aku bukan tuan putri. Aku ini pria. Kepalanya terasa berat, perasaan yang muncul saat baru bangun tidur. Sedikit pusing dan pandangan berkunang-kunang. Mobilnya tengah berjalan? Telinganya mulai berdengung.

Tidak butuh waktu lama untuk menebak siapa yang mengatakan hal itu. Siapa lagi?

"Aku berasumsi bahwa Shin Hye memintamu untuk menculikku." Suaranya terdengar pelan. Rahangnya terasa... kaku, lehernya pun terasa pegal. Melihat sekelilingnya, ia bisa mengira posisi tidurnya yang membuat tubuhnya terasa sakit seperti ini.

"Dengan bayaran yang setimpal, pula."

Seung Hyun tidak begitu yakin tentang hal itu. Memangnya, bayaran yang setimpal untuk adiknya itu apa? Shin Hye juga pastinya tidak akan membayar apapun, mereka bersaudara meski tidak sedarah. Dan Seung Ho tidak mata duitan, meski angka di buku rekeningnya sangat banyak.

Ia mengalihkan pandangannya ke arah kaca jendela mobil di sebelahnya, menyadari pemandangan yang tidak asing. Bandara, mungkin? Seketika Seung Hyun teringat dengan rencananya hari ini.

Ah, Jong Eun akan cerewet lagi, batin Seung Hyun. 

"... Seminarnya." Ia berhenti sejenak. "Pertemuannya," lanjutnya lagi. Wajah Seung Ho terlihat jelas di kaca spion depan. Tipikal Seung Ho, ia sangat santai dan seringkali mengalihkan pandangannya dari jalan. Mau ditegur pun, ia tidak akan mendengarnya.

"Huh, kau pikir mereka tidak bisa melakukan pertemuan tanpamu? Jangan manjakan mereka," komentarnya. "Aku meminta Sein untuk menjadi pembicaranya. Tidak perlu khawatir." Seung Ho menolehkan kepalanya ke belakang, melirik ke arah Seung Hyun dengan tatapan datar. "Wanita itu tidak akan marah kepadamu."

"Wanita itu akan marah kepadamu," tukas Seung Hyun, tidak terkesan dengan kata-kata yang sepertinya harus menenangkan dirinya. Efek obatnya mulai berkurang. Ia perlahan membenarkan posisi duduknya. "Nona Jong Eun selalu cerewet saat ia melihatku. Ketika aku bertanya, ia bilang karena wajahku mengingatkannya kepada wajahmu."

 "Astaga, wanita itu. Kita kan kembar."

"Aku sudah menjelaskan hal itu, tetapi ia tidak mau mendengarnya."

"Wanita yang keras kepala."

Seung Hyun memikirkan kembali kata-kata Seung Ho sebelumnya. Sein. Partner kerja Seung Ho sendiri? Hal itu terdengar aneh, karena pekerjaan mereka yang terbilang terlalu-misterius-dan-banyak-darahnya (menurut Shin Hye). Mungkin mereka sudah mengatasi hal itu.

"Kamu pasti telah mengurusnya dengan baik." Seung Hyun melihat ke arah kaca spion depan lagi. Manik mata heterokrom miliknya berhadapan dengan manik mata hitam gelap milik Seung Ho. "Seminarnya, maksudku."

Sempat berpikir apakah ia mengatakan hal yang salah karena Seung Ho terlihat... Marah?

"Tentu saja. Wanita itu meneleponku lebih dari seribu kali. 'Oppa, oppa! Seung Hyun-oppa tidak mau pergi ke London! Cepat bawa dia, ASAP!'" nadanya melengking, tidak ada usaha sama sekali dalam meniru suara Shin Hye. Seung Ho jelas terdengar sangat kesal. "Aku ingin mencekiknya." Seung Hyun tidak sadar bahwa ia memberikan wajah curiga saat Seung Ho kembali melanjutkan kata-katanya.  "Ia menelepon ke nomor kerjaku."

Daniel FrostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang