six

165 16 3
                                    

Author's P.O.V

Luna meletakkan kompres di dahi Anna perlahan. Dia berhasil membawanya kesini, ke rumahnya. Saat Anna pingsan tadi, dia segera memanggil taksi. Supir taksi tadi juga membantu Luna membopong Anna ke dalam taksi.

Mereka tadi sempat jadi pusat perhatian. Malahan beberapa orang mengambil foto. Tentu saja, Luna mendelik ke arah orang-orang tersebut. 

Luka-luka di badan Anna tidak terlalu banyak dan parah namun cukup untuk membuat Luna meringis melihatnya. Untung saat dia pulang rumahnya sedang sepi. Adiknya latihan futsal dan Mama Papanya kerja.

Setelah meletakkan kompres Luna mengurusi luka-luka Anna. Membasuhnya dengan air, memberi cairan antiseptik dan menempelkan plester. Semua dilakukannya dengan pelan dan hati-hati. Ia tidak ingin membuat sahabatnya terbangun.

Luna melirik ke arah ponselnya dengan bimbang. Perlukah dia memberi tahu keluarga Anna dan teman-temannya soal ini? Ah, lebih baik aku tanya nanti setelah Anna bangun, batinnya.

Dia menyelimuti Anna lalu pergi ke dapur, berniat membuat semangkuk bubur untuk Anna dan mengambil beberapa potong kue kering untuk dirinya.

***

Devon's P.O.V

Gila. Udah mau jam 6 dan Anna belum balik-balik. Astaga.

Gue bersumpah, kalo jam 7 dia belum balik juga atau gak ada kabar, gue nakal nyari keliling kota.

Kalau sampai Anna kenapa-napa gue...gue...

"Ngelamun mulu nanti kesambet," Kak Azra duduk disamping gue. Gue meringis.

"Anna belum pulang juga, kak. Ini salah gue."

Kak Azra menoleh. Dia menepuk-nepuk kepala gue dan tersenyum.

"Udah, gapapa. Lagian, kita harusnya ngasihtau tentang ini sama lu." ucapnya.

Gue mengernyitkan dahi bingung. Kasih tau apa?

Kak Azra seperti bisa membaca pikiran gue. Sebelum gue bertanya, dia menjelaskan.

"Keluarga kami itu beda, Von," dia memulai. "Sementara keluarga lain menurunkan warisan-warisan seperti benda, bakat melukis, bakat menyanyi, atau apapun itu kami menurunkan bakat mengendalikan air."

Gue jelas terkejut. "Ngendaliin air kayak avatar?"

Kak Azra mengangguk. "Iya, semacam itu," dia menghela napas. "Tapi, bakat warisan itu gak semuanya selalu dapet. Bisa saja loncat dua atau tiga orang. Begitu juga di keluarga gue, nyokap dan bokap gak dapet tapi gue dan Anna dapet.

"Katanya, anak dari generasi ke-7 akan mendapat bakat yang berbeda, yang lebih berbahaya. Karena nyokap adalah generasi ke-7 maka anaknya pasti dapet. Gue kira yang dapet gue, karena gue anak satu-satunya. Sampai Anna lahir."

Ya ampun. Anna itu beruntung atau malah sial, ya?

Kak Azra berhenti untuk meminuk seteguk air. "Capek gue cerita,"

"Lanjutin buru," gue meminta.

Kak Azra mendengus namun tetap bercerita. "Waktu ngelahirin dia aja, nyokap merasa beda, ngerasa lebih gampang, lancar dan gak sakit."

"Kok bisa?" gue mengernyit bingung.

"Karena dia punya kemampuan mengendalikan darah," dia menjawab.

Apa?

APA?

APAA??!!

Muka gue pasti jelek banget karena Kak Azra tertawa. "MUKA LO JELEK MAKSIMAL!" dia ngakak sengakak-ngakaknya.

TalentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang