Anna's P.O.V
Sinar matahari menembus melalui jeruji jendela. Aku menggeliat. Hari Minggu. Harusnya ini menjadi hari yang menyenangkan. Harusnya aku duduk di depan tv, menonton acara kartun pagi (sebut saja aku si Bau Kencur, aku tak peduli) ditemani semangkuk sereal rendah lemak.
Tapi tidak kali ini. Terima kasih sebesar-besarnya pada kakakku tersayang. Aku masih marah padanya. Kekesalanku menjadi-jadi karena dia tidak minta maaf. Saat aku marah, dia malah ikutan marah. Devon saja kebingungan. Ngomong-ngomong soal Devon, bagaimana kabarnya? Semalam karena kesal yang bertumpuk-tumpuk setelah sampai di depan rumah aku langsung keluar dan membanting pintu mobil. Lantas segera berlari naik ke lantai atas, ke kamar.
Aku meringis mengingat kejadian itu. Aku memang marah pada Kak Azra tapi tidak berarti aku harus marah kepada Devon juga. Dia kan tidak salah apa-apa. Malah, dia baik hati sudah berusaha menolongku. Teringat kebaikannya, aku makin merasa bersalah. Mudah-mudahan pintu mobilnya tidak kenapa-napa.
Untuk memastikan, aku mengetikkan pesan untuknya.
Anna : Dev, gue mau minta maaf ya gue udah ngebanting pintu mobil lo keras2 gt aduh padahal lu baik sm gue. Maaf ya dev semalem gue emg lagi bete gitu.
Send. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dengan cepat, aku mengetikkan satu pesan lagi untuknya.
Anna : Lo tau ya soal kemampuan gue?
Setelah itu, aku beranjak ke kamar mandi. Badanku gatal rasanya. Mungkin berendam air hangat yang dipenuhi busa akan menenangkanku.
Jujur ya, sebenarnya aku tidak suka marahan sama Kak Azra lama-lama. Kurang nyaman. Tapi dia ngeselin. Duh, makin bingung.
Air hangat yang bercampur busa menyentuh telingaku saat aku meluruskan badan. Aku teringat saat aku menghempaskan tubuh Paman ke tembok. Saat itu aku merasakan sensasi aneh di sekujur badanku. Semacam geli dan gatal yang menggelitik.
Aku memejamkan mata. Kemarin dia menyebut sesuatu soal diusir ... benarkah dia yang diusir dari sini? Bukannya justru dia yang pergi?
Makin dipikir, aku makin pusing. Sambil menghela napas, aku mengosongkan isi bathub, lalu membilas badanku dengan air dingin segar dari shower. Aku memutuskan untuk bertanya kepada Mama dan Papa nanti.
Perutku lapar. Ini sudah jam sembilan dan aku belum memakan apapun. Padahal biasanya aku sarapan jam setengah delapan. Di jadwal hari minggu-ku yang biasa harusnya sekarang aku ngemil sambil membaca buku. Aku belum bilang ya kalau membaca buku adalah favoritku? Nah. Tidak penting.
Saat tanganku meraih gagang pintu kamar, aku terdiam. Aku gengsi. Kalau nanti pas keluar kamar ketemu Kak Azra gimana. Tapi aku lapar. Tapi gengsi. Pertarungan batin, eh?
Perutku berbunyi. Baiklah, kali ini egoku tertindas oleh keinginanku untuk makan. Dengan takut, pintu kubuka perlahan. Kamar Kak Azra, yang berada tepat di depan kamarku tertutup. Aman. Aku buru-buru melongok ke bawah, melihat ke arah meja makan. Ada setangkup roti bakar disana.
Baru saja aku menuruni 3 anak tangga, suara seseorang mengagetkanku. "Masih marah?"
Uh, Kak Azra! Orang terakhir di dunia yang kuharap akan muncul dan mengajakku bicara. Langkahku terhenti. Aku menengok ke belakang. Disanalah dia, bersandar pada tiang penyangga tangga sambil melipat tangan. Aku berusaha memasang wajah sejudes mungkin lalu pergi dengan wajah mendongak.
"Geez. Yaudah gue minta maaf deh," dia mengalah.
"Minta maafnya gaikhlas!" aku berteriak dari bawah sambil mengunyah roti.
Bruk!
Kak Azra melempar kantong plastik dihadapanku. Isinya sweter dari h&m dan beberapa snack luar negri. Ha. Cerdas juga dia. "Sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Talent
Teen Fiction❝Bakat itu pemberian tuhan tapi, karakter itu pilihan.❞ Gimana jadinya kalo kamu punya bakat yang 'istimewa' atau berbeda dari yang lain? Gimana kalo bakat kita bisa berbahaya? Apa yang akan kamu lakukan jika kamu ada di posisi Anna? Copyright©2014...