Sup Ayam

101 9 0
                                    

2015

Suara derum motor yang tengah ditunggangi dua orang ini mungkin menjadi salah satu hal yang terdengar cukup jelas di tengah bisingnya kota yang kian kentara. Ya, karena gelap sudah mulai jatuh jelas ibu kota akan menjadi semakin bising dan bukan sebaliknya. Suara khas motor tersebut terdengar semakin jelas kala si pengendara membiarkan motornya dimakan oleh sebuah kelokan. Kecepatannya pun semakin lambat ketika akhirnya mereka memasuki halaman luas milik sebuah rumah yang pagarnya telah terbuka sedikit lebar. Saat motornya telah benar-benar berhenti, si pengendara melepas helm dan menunggu seorang perempuan yang sedang duduk di jok belakang untuk turun. Sesudahnya si perempuan turun, barulah laki-laki itu turun dan langsung menuju rumah. Ketika tangannya sudah meraih kenop pintu, si perempuan bersuara.

"Mau ngapain lagi? Gue capek, nih."

Jelas, wajah yang biasanya terlihat segar walau hanya dengan sapuan make up yang sangat tipis itu kini sudah tergantikan dengan guratan-guratan lelah. Jadwal kuliahnya hari ini bisa dibilang sedikit, memang. Namun karena jarak antar kelas yang mempunyai selisih dua hingga tiga jam membuatnya mau tak mau untuk tetap stand by di sekitar area kampus. Ketika semua kelasnya telah berakhir, agendanya dengan kasur tersayang yang biasa ia lakukan ketika selepas kuliah pun harus ia relakan tidak terjadi.

"Ivory, sini."

Perempuan itu menghela napas sesaat sebelum melangkahkan kedua kakinya dengan malas untuk menghampiri laki-laki yang sudah memasuki rumah. Ia terus mengekori si lelaki tanpa suara, hingga keduanya sampai di ruang tengah rumah megah yang kental akan aksen putih tersebut.

"Lo mau minum apa?"
"Nevan, gue mau pulang."

Walau begitu, perempuan itu langsung mendaratkan tubuhnya di sofa yang ada di dekatnya tanpa menunggu laki-laki jakung di hadapannya menjawab.

Agaknya, semesta memang sedang ingin bermain. Karena sepersekian detik setelahnya perempuan itu duduk, hujan turun dengan derasnya ㅡmembuat laki-laki yang sedang memandanginya itu kontan tersenyum.

"Pas tuh, hujan."
"Nyebelin, kan. Lagian lo mau apa sih pake bawa gue ke rumah lo segala? Gue capek, serius."

Nevan tidak menjawab, bibirnya seketika mengatup rapat. Laki-laki itu meninggalkan Ivory yang mendesah pasrah dan segera menyandarkan punggungnya pada sofa lantas menutup kedua matanya.

Tak kurang dari lima menit, Nevan kembali dengan dua gelas berukuran sedang di kedua tangan, lengkap dengan kepulan asap yang menguar di atasnya. Ia meletakkan satu gelas di meja, lalu meraih kedua tangan Ivory agar gelas tersebut dipegangnya dengan benar.

"Gue alergi sama coklat."
"Nggak kalau coklatnya diseduh begini, jangan kira gue nggak tau."

Ivory menyipitkan mata, heran akan Nevan yang tahu tentang sebuah fakta yang bahkan mungkin hanya ia beritahukan pada orang terdekatnya.

"Minum, it makes you warm."
"Nggak, mau pulang."
"Minum atau nggak gue pulangin sampe besok sekalian."

Perempuan itu kembali menghela napas, cengkramannya pada gelas sedikit mengerat ketika ia membawa gelas itu mendekat ke bibir dan mulai menyesapnya.

Nevan yang masih memandangi Ivory pun akhirnya meraih coklat panas miliknya yang sempat ia taruh di atas meja, menyesapnya seraya kembali memandangi perempuan di hadapannya yang sedang mendongkol.

Tidak ada suara hingga beberapa detik setelahnya. Hingga Ivory menyerah, meletakkan gelas yang ia pegang di atas meja, lalu membenarkan posisinya sembari menutup kedua matanya lagi.

 Hingga Ivory menyerah, meletakkan gelas yang ia pegang di atas meja, lalu membenarkan posisinya sembari menutup kedua matanya lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
all inTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang