Zwei

1.6K 129 0
                                    

Aku mengenalnya ketika aku dan Iqbaal seusai mengikuti pelantikan OSIS di luar kota. Saat itu aku masih kelas sebelas, begitupun dia. Kami bertemu di kursi panjang didepan pos satpam sekolah setelah turun dari bus yang kami gunakan tadi ketika menunggu jemputan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, hanya tinggal tiga orang termasuk aku dan dirinya.

Aku dari awal sudah heran padanya, entah sudah berapa kali Iqbaal bolak-balik dihadapanku. Entah apa yang ada dipikirannya. Kemudian, Iqbaal mengambil sesuatu dari tas selempangnya, lalu menyodorkannya padaku. Aku menengok kearahnya. Itu beberapa bungkus permen.

“Mau?” ucap Iqbaal.

“Enggak, makasih.” jawabku. Kemudian Iqbaal memasukkan kembali permen-permen tersebut kedalam saku celananya dan menyisakan satu untuk di nikmatinya. Tak lama kemudian seseorang yang tadi bersama kami didapati beranjak dari duduknya dan menghampiri mobilnya, mungkin itu jemputannya pikirku.

“Sepertinya tinggal kita berdua,” ujar Iqbaal. Aku mengangguk.

“Oh, ya. Kita belum kenalan.” tambahnya sambil menyodorkan tangannya. Aku menyambutnya. “Iqbaal. Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan.” ujar Iqbaal.

“(Namakamu) Alyssyananda. Panggil aja (Namakamu).” ujarku.

Sedetik kemudian, kami memulai percakapan panjang kami sembari menunggu jemputan kami. Selama itu, banyak yang kami bicarakan. Dan dari percakapan itu setidaknya aku tahu jika Iqbaal merupakan siswa dari jurusan IPS, sedangkan aku sendiri adalah jurusan IPA. Pembicaraan berkembang, mulai dari alasan kenapa mengikuti OSIS, hobi, kesukaan, hingga gurauan kecil.

“Hm, udah gelap. Kamu pulangnya gimana?” tanya Iqbaal padaku.

“Dijemput Ayah.” jawabku.

“Rumah kamu jauh dari sini?”

“Gak begitu jauh sih, di perempatan ujung jalan sana terus belok kanan dan ikutin jalan sedikit. Kalau nggak macet cuma sekitar 15 menitan.” jawabku lagi.

Iqbaal membulatkan mulutnya sambil mengangguk kecil. Lalu setelahnya Iqbaal izin sebentar ke toilet, aku tentu mengangguk mengizinkannya.

Sekarang aku sendiri, tak banyak yang bisa ku lakukan. Ponselku lowbatt, hanya tersisa 6% ku lihat terakhir tadi di bus dan tak ada saluran listrik yang bisa kugunakan untuk menchargenya. Jika aku mainkan, bisa-bisa mati total dan sulit untuk menghubungi Ayahku.

Beberapa kali aku melihat jam yang melingkar tanganku, waktu terasa lama dan membosankan. “Tahu gini aku terima tawaran permennya tadi.” ucapku lirih. Dan aku mulai sedikit takut karena sendirian. Hanya terdengar suara beberapa kendaraan yang melintas di jalan.

Setelahnya, Iqbaal kembali dengan gaya selengekannya. Dan itu tepat dengan ponselku yang berdering, tanda telepon masuk. Aku bangkit dari dudukku dan sedikit menjauh untuk berbicara dengan seseorang di sebrang sana. Ayahku.

Ayahku mengatakan kalau ia tidak jadi menjemputku dikarenakan ada meeting penting yang mendadak. Aku menghela napas, bingung harus pulang menggunakan apa. Aku juga tidak biasa pulang malam begini. Aku sedikit gelisah dan sepertinya Iqbaal menyadari gerak-gerikku.

“Kenapa?” ucap seseorang dari arah kananku, spontan aku menoleh. Tentu saja itu Iqbaal. Sepertinya Iqbaal baru saja merokok, terlihat dari tangan kanannya menekan sebuah putung rokok di atas sebuah tempat sampah.

“Ayahku nggak jadi jemput. Bingung gimana pulangnya.” ujarku jujur karena aku betul-betul bingung saat itu.

“Bareng aja yuk?” tawar Iqbaal. “Naik angkot.” perjelasnya lagi.

“Emang kamu tinggal dimana?” tanyaku.

“Deket sana kok.” jawabnya. Aku masih diam, aku meragukannya.

“Gak perlu takut (Nam). Lagian seharusnya untung ada temen yang searah jalan pulangnya. Seenggaknya ada temen ngomong.” jawabnya lagi.

Aku menyetujui alasan tersebut. Tapi tunggu… Iqbaal memanggil namaku barusan. Aku sedikit aneh dan heran dengan orang ini. Bisa juga Iqbaal memanggil nama orang yang baru ia tahu dan belum tentu bakal jadi temen.

Iqbaal menungguku. Akhirnya aku pasrah dan melangkah, Iqbaal mengimbangi langkahku. Kami segera beranjak menuju pinggir jalan di seberang gerbang utama sekolah kami untuk menuju kerumahku. Beruntungnya masih ada angkot malam itu, meski yang beroperasi tidak sebanyak siang.

Ketika sudah menaiki angkot, aku sempat menanyakan dimana tempat tinggalnya, namun Iqbaal masih memberi jawaban yang sama seperti sebelumnya. Aku meminta lebih rinci, namun Iqbaal hanya menjawab, “Nanti pasti tahu.”

Kemudian kami turun dari angkot berjalan ke arah rumahku karena angkotnya tidak sampai terlalu dekat dengan rumahku. Tak butuh lama kami sudah sampai di depan rumahku.

“Wah, ini rumahmu.” ujar Iqbaal.

“Aku gak akan menawarimu mampir.” ucapku.

“Aku juga gak akan mampir kalau ditawari,” ujar Iqbaal, “Untuk saat ini.” tambahnya lagi.

Aku diam.

“Yasudahlah, aku mau pulang dulu.” ujar Iqbaal sambil berbalik dan melangkah kembali menuju arah angkot kami turun tadi.

Aku kaget, “Hei, tunggu!” panggilku, Iqbaal berhenti dan hanya menoleh kebelakang. Iqbaal lalu tersenyum. Iqbaal lalu memberitahukan jika tempat tinggalnya berada di Jalan Mangga II. Daerah yang sangat bertolak belakang dengan rumahku.

“Mana mungkin aku bisa membiarkan seorang gadis pulang sendirian di malam hari.” tambah Iqbaal, seolah ia mengetahui apa yang akan aku katakan dan tanyakan.

Aku diam, lalu berterima kasih. Iqbaal kembali tersenyum lalu melanjutkan
langkahnya. Tangan kanannya diangkat dengan membentuk huruf ‘V’ sambil memunggungiku. Itulah hari pertamaku bertemu dengannya.

• • •

alhamdulillah double update wuhu

jangan lupa vote & comment! :)

Rabu, 28 Februari 2018.

Cahaya Panjang • IDR [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang