Sech

879 75 0
                                    

Tahun pelajaran kelas dua belas sudah dimulai sejak sebulan lalu. Tapi aku tak mendapati kehadiran Iqbaal di sekolah. Aku ingin menanyakan keberadaan Iqbaal di gedung IPS, namun aku tidak ada yang kenal dengan teman-temannya. Lagi pula Iqbaal juga jarang bercerita tentang teman-temannya.

Aku sudah mencoba mengubungi Iqbaal beberapa kali tapi tidak mendapat balasan. Meneleponnya pun juga tidak pernah diangkat. Entah mengapa aku sangat khawatir.

• • •

Dua bulan sudah berlalu, namun keberadaan Iqbaal masih belum bisa kutemukan. Iqbaal seperti hantu yang menghilang begitu saja. Menghubunginya sekarang bukan lagi jawaban, melainkan Iqbaal sudah tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif. Tanggal aktif terakhir sosmednya juga sudah sangat lama.

Terakhir aku betemu dirinya adalah ketika acara ulang tahunku sekitar empat bulan lalu. Saat itu aku setengah sadar, Iqbaal membangunkanku dengan lembut. Aku berhasil membuka mataku namun tidak dengan kesadaranku. Aku masih setengah tidur meski dengan mata terbuka.

"(Namakamu), maafin aku. Aku ngabarinnya mendadak, dengan begini aku sudah jahat padamu. Aku sebentar lagi sudah harus dalam perjalanan menuju sesuatu. Mungkin aku akan pulang. Masih belum tahu aku akan kembali kapan. Kuharap aku masih memberimu cahaya terakhir yang bisa menemanimu dalam kegelapan. Sekali lagi aku minta maaf, yang kamu butuhkan adalah menunggu, mengingat dan menyadari. Jangan pernah menyesali hal yang sudah berlalu dan belum kamu lakukan."

Itulah ucapan terakhir dari Iqbaal, sebelum setelahnya aku kembali tidur sambil memeluk lampu tidur dengan motif bintang dan menggenggam sebuah korek.

Aku menyesali kenapa aku tidak langsung sadar waktu itu. Hampir setiap hari aku mencarinya di sekolah hingga berani menyusuri gedung IPS. Namun aku tak mendapatinya.

Menunggunya di tempat biasa aku mengobrol dengannya di taman kecil sekolah seperti biasanya juga tak membuahkan hasil. Aku mulai menyerah mencarinya.

• • •

Hingga suatu hari, aku pulang dari sekolah dan langsung merebahkan badanku di atas kasur. Aku masih mencemaskan keberadaan Iqbaal. Lalu aku mengalihkan pandang ke arah jendela. Langit sangat cerah, dan sedikit menyilaukan mata.

Aku segera mengalihkan pandang ke sisi tembok di belakangku. Dan mataku tertuju kepada sebuah lampu tidur yang tertempel di sana. Aku diam. Lalu tersentak kaget dan langsung mengambil posisi duduk. Aku mengingat sesuatu.

"Jika ada apa-apa, kamu bisa dateng kesini."

Aku langsung meraih tasku kembali dan pergi keluar kembali dengan tergesa-gesa. Aku menuju tepi jalan raya mencari taxi, untungnya aku bisa mendapatkannya dalam waktu tidak sampai sepuluh menit.

Aku langsung memberi aba-aba jalan yang harus di lewati oleh supir tersebut. Pak supir terlihat bingung dengan sikapku yang terburu-buru. Dan sekitar 20 menit taksi melaju, aku sudah berada di depan sebuah bangunan yang pernah ku kunjungi. Bangunan yang tak berubah sama sekali sejak pertama aku datang, toko 'Lumiere'.

Aku meminta Bapak tersebut untuk menunggu. Dan untungnya beliau mau. Aku pun lalu segera masuk kedalam toko tersbut. Suara lonceng khasnya terdengar kencang seraya kedatanganku. Aku mencari seseorang. Tempat itu kosong. Namun kemudian seseorang keluar dari sebuah pintu dari dalam bangunan tersebut.

Itu Aldi. Orang yang aku cari. Melihat kedatanganku Aldi memberi sebuah senyum. Namun, entah mengapa rautnya berbeda dengan senyum yang dulu pernah diperlihatkannya.

"(Namakamu), aku tau kamu bakal kesini." ujar Aldi. Aku masih diam dan mengangguk sambil tersenyum.

"Silahkan duduk di sana, tunggu sebentar." tambahnya sambil menunjuk sebuah kursi di depan meja yang dulu digunakannya untuk membungkus lampu yang kudapat dari toko ini, lalu ia kembali keruangan tadi dia keluar. Setelah beberapa lama ia mendatangiku dengan membawa sebuah kotak berbungkus kertas kado. Lalu ia duduk di sebuah kursi yang berseberangan denganku.

Cahaya Panjang • IDR [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang