Vier

801 75 3
                                    

Saat itu akhir Juni, ujian sudah baru saja berlalu. Aku memiliki janji dengan Iqbaal untuk keluar mengunjungi sebuah tempat wisata baru yang didalamnya terdapat beberapa wahana yang biasanya ada di pasar malam.

Ya, seiring waktu berlalu kami semakin dekat. Tak dapat kupungkiri. Aku, (Namakamu) Alyssyananda, sepertinya mulai tertarik pada seorang Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan.

Berbeda dari biasanya, kami berangkat menaiki bus ke sana pada sekitar pukul enam sore. Sesampainya di sana, kami membeli tiket masuk berupa kartu seperti kartu ATM yang memiliki saldo rupiah di dalamnya. Dan untuk menikmati wahana disana. Kami cukup memberikan kartu tersebut pada petugas, selama kami memiliki saldo cukup, kami bisa menikmati wahana yang kami inginkan. Disana, kami bersenang-senang, melepat penat setelah melewati sebuah perang bernama
‘Ujian Akhir Semester’. Menikmati setiap wahana yang beradrenalin hingga biasa saja.

Dan di sana juga aku mengetahui jika Iqbaal takut menaiki sebuah wahana bernama bianglala. Aku menyadarinya ketika kami sudah berada di dalam keranjang, duduk berhadapan.

Awalnya Iqbaal biasa saja, namun ketika keranjang mulai berputar, Iqbaal terlihat seluruh tubuhnya menegang dan tangan
yang dipangkuannya gemetar. Aku awalnya heran dan mengira jika Iqbaal takut pada ketinggian, lalu memberanikan diri untuk bertanya “Kenapa Baal?”

“Aku gak takut ketinggian. Cuma kalo ada di dalem sebuah ruang dan tiba-tiba terangkat itu gimana gitu rasanya. Kayak sekarang ini, atau kalau naik lift.” ucap Iqbaal.

“Wah, maaf ya. Entar aku minta turun deh sama mas yang jaga.” ucapku, merasa tidak enak. Namun Iqbaal melarangnya. Aku diam menatapnya. Iqbaal lalu tersenyum.

“(Namakamu), kita nikmati apa yang kita lakukan sekarang.” ucap Iqbaal.

“Tapi apa kamu juga menikmatinya Baal? Kamu gemeter lho ini.” ucapku sedikit khawatir.

“Kalau aku gak nikmatin udah aku yang minta buat berhenti. Gak perlu kamu. Percaya sama aku.” jawabnya. Aku masih
terdiam. Namun Iqbaal memberikan pandangan yang sangat bisa membuatku menuruti kata-katanya barusan.

Aku lalu menggenggam kedua tangannya yang gemetar dengan kedua tanganku. Aku mencoba menenangkannya, Iqbaal awalnya sedikit kaget dengan yang ku lakukan lalu menatapku. Aku hanya memberikan senyuman padanya, Iqbaal juga ikut tersenyum. Lalu tak ada percakapan diantara kami, kami hanya menikmati pemandangan yang ditunjukkan pada kami ketika berada dalam ketinggian di dalam keranjang tersebut.

Beberapa waktu kemudian kami bisa turun dari keranjang tersebut dan memutuskan untuk mencari makan. Setelah itu kami kembali berkeliling di tempat tersebut, melewati taman-taman yang disinari lampu, terkadang berfoto bersama, menciptakan kenangan. Aku menikmatinya, sangat menikmatinya. Dan sepertinya Iqbaal juga merasakan hal yang sama sepertiku.

“(Namakamu),” panggil Iqbaal. Aku menoleh kearahnya.

“Sebentar lagi kamu ulang tahun ya?” tanya Iqbaal tiba-tiba.

“Iya, kenapa emang?” tanyaku.

“Kamu mau kado apa?” tanya Iqbaal lagi. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya.

Awalnya aku menolak unuk diberi hadiah. Namun Iqbaal tetap memaksa. “Kasih hadiah doa aja cukup kok Baal.” ujarku.

“Do'a untukmu itu selalu terucap tiap harinya.”

Aku kembali tersentak, aku masih sedikit mencerna ucapannya barusan, lalu Iqbaal kembali berkata, “Begitu juga dengan orang lain yang aku kenal,” lanjutnya. “Bilang aja, aku bakal usahain.” tambahnya lagi sambil tersenyum.

Aku diam, mencari kalimat permintaan yang sekiranya tak membuatnya repot lagi, aku sudah sering merepotkannya,
batinku. “Aku ingin sesuatu dari kamu, yang bener-bener jujur dari kamu, yang mau kamu kasih atau lakuin.” ucapku pada akhirnya.

Iqbaal diam sejenak seperti berpikir, “Itu mudah.” balasnya saambil tersenyum,

“Kenapa kamu sebaik ini Baal?” tanyaku.

“Hm, terkadang. Seorang cowok harus terlihat keren di depan seorang wanita (Nam), hehehe,” jawab Iqbaal sedikit terkekeh, “Udah cukup malem nih. Pulang yuk?” ajaknya, aku menurut.

Namun sebelum kami pulang, kami melewati deretan stand-stand yang menjual beberbagai barang seperti souvenir, kami memutuskan untuk melihat-lihat dulu. Untukku tidak ada yang menarik, namun Iqbaal memilih untuk membeli sebuah bola kaca sebesar genggaman tangan yang berisi air dengan beberapa bola transparan berwarna-warni. Ketika aku tanya untuk apa, dia hanya menjawab ‘menarik’. Kemudian kami pulang menggunakan taksi, dikarenakan jam operasi bus sudah lewat sekitar lima belas menit yang lalu.

• • •

seperti yg gue blg bakalan pendek2 dan ya... beginilah hasilnya :3

gue sengaja bikin yg pendek dulu, next story gue bakalan bikin yg panjang2 sans sajeu gengz

jangan lupa vote & comment! :)

Minggu, 4 Maret 2018.

Cahaya Panjang • IDR [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang