Minggu pagi, ketika aku bangun tidur aku langsung menuju dapur untuk mengambil minum, kulihat Mama dan Sasi sedang membuat kue, sambil sedikit-sedikit berbincang."Pagi, Ma!" seruku.
"Pagi Kak!" Sasi yang menjawab sapaanku, aku tersenyum, lalu mengacak rambutnya saat melewatinya.
"Kalo kuenya ada rambutnya, salah Kak Gara yaaa!" serunya kesal.
Aku nyengir sambil menuangkan susu ke gelas kaca ini.
"Papa sama Yuri, mana Ma?" tanyaku.
"Main golf di rumah Papi Rafi, bareng sama Kama-Kala."
Aku mengangguk, lalu menarik kursi yang ada di kitchen island, memandangi Mama dan Sasi yang sedang membentuk adonan.
"Kakak hari ini mau kemana?" tanya Sasi. Aku menenggak susu dari gelas baru kemudian menjawab pertanyaannya.
"Di rumah, kenapa Dek?" tanyaku.
"Jani kemarin bilang kalo dia mau nyanyi di kafe, pengin liat aku Kak."
"Ya liat aja."
"Temenin gituloh, setirin aku sama Jani." jelas Sasi.
"Ohh, yaudah iya. Jam berapa?"
"Kata Jani sih jam 5 sore berangkat, tampilnya sekitar jam 7 lah."
"Okee! Kita jemput Jani?"
Sasi mengangguk.
"Ajak kak Yuri sekalian, sama Vissa." Usul Mama.
"Tadi Sasi udah ajak Ma, Kak Yuri mau main sama temennya, kalo Vissa katanya mau belajar, senin dia ada ujian apa gitu. Lupa."
Mama mengganguk lalu berbalik, berjongkok untuk membuka oven dan mengeluarkan kue yang sudah selesai dipanggang.
"Ma, Gara ke kamar lagi yaaa!"
"Sore yaa kak!" Seru Sasi saat aku berbalik, aku hanya mengangguk dan berharap ia melihatnya.
Di dalam kamar, aku kembali dihantui perasaan bersalah. Salah karena mencintai adikku sendiri, dan salah karena sudah melakukan perbuatan terlarang. Lalu, aku semakin salah karena meminta Vissa menjauh. Harusnya gak seperti itu. Mau bagaimanapun, dia tetap adik perempuanku, sama seperti Yuri, Sasi, Kimora dan Jani.
Kuraih ponselku yang tergeletak di meja, membuka nomor Vissa lalu memandanginya.
Sudah lama sejak kejadian di taman di mana ia mengatakan perasaannya secara terang-terangan dan aku menjawab dengan pergi meninggalkannya. Berulang kali aku meyakinkan hatiku kalau Vissa gak lebih dari sekedar adik, tapi nyatanya, hatiku keueuh menunjukan perasaan yang berbeda kepada Vissa.
Dan, saat aku meresponnya, kami malah berjalan terlalu jauh. Jauh sampai untuk berbalik dan kembali ke jalan yang benar pun terasa berat.
"Kak!" Pintu kamarku diketuk sekali lalu terbuka, Sasi membawa dua toples kecil kue di pelukannya.
"Buat Kakak?" Tanyaku.
"Enak aja!" Sahutnya lalu duduk di ujung kasurku.
"Terus ngapain?"
"Kakak mau bantu aku bilang ke Papa-Mama gak?"
"Soal kamu mau kuliah di Jakarta?" Tebakku.
Sasi mengangguk semangat.
"Yaudah, besok pas makan malam. Kan sore ini kita mau liat Jani nyanyi."
"Okee! Nih satu buat Kakak!" Ia mengulurkan satu toples yang ia bawa, aku langsung tersenyum sambil menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONSCIENCE ✔
Ficción GeneralKarena hati nurani, kadang kala bisa salah - Gara Bérama S Sequel Harta-Tahta-Duda. Anak pertama dari Firi dan Ocha.