0.1

20.7K 2.8K 45
                                    

"Jungwoo!" aku melangkah dengan riang ke kamar rawat sahabatku, berusaha menutupi air mata yang sudah kukeluarkan selama perjalanan. Buket bunga di tangan kanan dan sekeranjang buah-buahan di tangan kiriku bergoyang seirama langkah kaki.

"Hey," Jungwoo menyapaku lemah. Aku meletakkan keranjang buah di sofa dan buket bunga itu di atas nakas di samping tempat tidur Jungwoo; sebuket mawar putih untuk sahabatku yang sedang sakit ini.

"Halo, Tante!" sapaku pada Nyonya Kim, ibu Jungwoo. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. Aku dapat merasakan lelah hanya dari sorot matanya. Aku berusaha tersenyum, tidak ingin menambahi beban.

"Halo, Nak," Tante Kim—begitu aku menyapanya—mendekatiku dan memelukku sebentar. Aku tersenyum lebih lebar, lalu duduk di samping Jungwoo.

"Kapan masuk sekolah?" tanyaku padanya. Ia tertawa tipis. Matanya yang mulai cekung menatapku lurus, bibir pucatnya menyunggingkan senyuman.

"Belum tahu," ucapnya. "Tapi kayaknya bentar lagi. Aku udah ngerasa lebih sehat, kok. Hehe."

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya yang bebas dari infus. Pandanganku mulai memburam oleh air mata. Lagi.

"Hey, jangan nangis, dong," ucap Jungwoo dengan senyum sambil mengusap air mataku. "Nanti cantiknya hilang, lho."

"Nggak mungkin," ucapku sambil menggeleng. "Kecantikanku itu permanen."

Jungwoo tertawa pelan.



















Mengapa dia terlihat begitu bahagia di saat ia sedang sakit?

***

Pamit | Kim Jungwoo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang