Aku menatap lautan manusia yang ada di hadapanku.
Ya, di sinilah aku. Duduk di depan piano, mempersembahkan sebuah lagu di panggung utama ini.
Seperti yang kami harapkan, festival seni ini berlangsung lancar. Masyarakat begitu antusias menyambut ini semua. Aku tersenyum sendu, andai Jungwoo di sini dan turut mempersembahkan suara emasnya.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, berusaha fokus untuk penampilanku malam ini.
"Perkenankan, saya di sini akan mempersembahkan lagu untuk sahabat saya, teman kita, kakak kelas, adik kelas kita semua yang telah meninggalkan kita lebih dulu untuk pulang, orang yang sangat berharga di hidup saya," ucapku sambil tersenyum. Mataku memanas saat mengucapkan namanya, "Kim Jungwoo."
Aku tersenyum tipis, merasakan sensasi kerinduan yang sangat dalam, bahkan hanya dengan menyebutkan namanya.
"At least, he's not suffering anymore," ucapku dengan suara bergetar, berusaha menguatkan diri sendiri.
Aku menghela napas, berusaha fokus. Hal yang sulit sebenarnya.
Tanganku tidak berhenti bergetar. Pandanganku tidak fokus, kepalaku berdenyut. Namun ada yang lebih sakit dari itu semua.
Di dalam sana, hatiku pecah berkeping-keping.
"Aku mencintaimu," bisikku, "Kim Jungwoo."
Aku tidak tahu ini halusinasiku atau perasaanku yang sedang gugup, namun aku mendengar sebuah bisikkan lembut di telingaku.
"Aku tahu."
Bisikan itu membaur bersama angin yang membelai lembut pipiku--sensasi yang sama seperti saat aku pertama kali bertemu Kim Jungwoo di suatu sore, dimana cahaya jingga menyorot melewati dahan-dahan dan ranting-ranting pohon damar di dekat rumahku, memberi kesan kehangatan yang luar biasa.
Namun sekarang ada yang hilang dari sore itu.
Kim Jungwoo.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pamit | Kim Jungwoo [COMPLETED]
Short Story[COMPLETED] "Dia pamit." Kamu mau pulang kemana? demonicprodigy27 2018