Coba lihat bagaimana manik merah itu menatap langit kelabu dengan hampa. Hatinya seakan mati rasa berulang kali, terus seperti itu sampai dirinya lupa bagaimana cara untuk sekedar memupuk keinginan menghilang lagi dari dunia ini.
Jika waktunya kembali ia gunakan untuk merutuki dirinya sendiri seperti selama ini, ia yakin dirinya akan hancur perlahan. Jiwanya yang dinilai kuat tidak akan lagi bertahan mengemban kehidupan yang tak diinginkannya.
Waktu 1 bulan lebih tak sadarkan diri dan pemulihan berkala hanya menghasilkan dirinya yang sekarang ini ーberjalan dengan tongkat yang terselip di lengan kirinya. Ya, kakinya belum pulih benar, sesekali masih terasa retakan halus di tulang keringnya. Sampai tak sadar dirinya meringis tatkala kakinya goyah. Tapi yang jelas hal itu tak seberapa dengan kehampaan yang menyerang batinnya saat ini.
Langkahnya masih menuntun dirinya untuk berjalan. Angin musim dingin menyerbunya, mempermainkan sayatan sentuhan di pipinya yang memerah berkat udara dingin. Mantel hitam dan syal merah yang membelit lehernya dengan apik seakan tak berefek sama sekali untuk menghangatkan. Terlebih, berkat hatinya juga yang membeku perlahan setiap harinya ーsejak hari itu benar-benar terjadi.
Hiruk pikuk jalan yang ia lewati tak lagi membuatnya tertarik. Tak lagi membuat matanya berbinar takjub. Dirinya hanya fokus pada tempat yang akan ia tuju hari ini, seperti kemarin, dan kemarin lusa, dan beberapa hari lalu.
Sudah berkali-kali dirinya mengikrarkan diri tidak akan percaya pada Tuhan, berkat ketidak-adilan yang ia terima di kehidupannya. Berkali-kali pula ia tetap berdoa pada Tuhan yang sudah tak ia percayai, memohon setitik keajaiban yang begitu jauh darinya. Bagai memohon setetes embun di gurun pasir yang mengoyak tubuhnya dengan panas. Bagai memohon tersulutnya api di dalam laut. Kemustahilan.
Jika dikatakan selama ini hidupnya menyedihkan maka tahap ini dinamakan apa? Ini lebih menyedihkan dari kata menyedihkan itu sendiri. Kesengsaraannya mencekik setiap detik. Memaksanya menerima kenyataan terpahit yang enggan diakui terus menerus.
Jalanan yang ia lewati mulai terasa sepi, pertanda bahwa tempat tujuannya semakin dekat. Dan lagi, setiap hari perasaan sesak selalu datang saat mulai memasuki jalan ini. Ketidakyakinan membelenggunya kuat, tak yakin bahwa deklarasi air mata yang ia anggap sudah habis itu akan benar-benar berhenti keluar saat berhadapan dengannya.
Langkahnya memelan bertahap, mengajaknya berbisik pada angin musim dingin. Salahkah ia jika lagi-lagi satu keajaiban ia tuntut untuk Tuhan yang mengawasinya di atas sana? Agar setidaknya ia terbangun dari mimpi terburuknya ini.
Semakin mengeratkan tangan di dalam saku mantel, semakin jelas tempat yang ia tuju. Berlatar langit kelabu seperti biasa. Serta hembusan angin yang menepuk bahunya perlahan. Mafu berhenti melangkah, saat seseorang yang ingin ia temui sudah terlihat dari jarak ini. Berkat lokasinya yang tak begitu jauh dari jalan.
"Lihat, sampai akhir ternyata semuanya salahku.." ia bermonolog, dengan senyuman miris yang nampak tersungging di bibirnya.
Mafu kembali melangkah, mendekatinya lebih dekat.
Satu langkah,
Dua langkah,
Semakin terasa berat.
Angan melayang di udara. Memaksanya menapak kenyataan.
Saat Mafu tepat berada di hadapannya, kepalanya menunduk dalam. Semilir angin mengayunkan helai rambutnya yang lembut, seolah menenangkan dalam diam. Meski takkan berefek sama sekali. Karena saat berhadapan dengannya, dirinya kembali jatuh. Berkali-kali. Jatuh cinta, dan jatuh dalam kepiluan terberatnya. Mencintai kesengsaraan.
Miris, senyuman yang ia tunjukkan. Dihiasi matanya yang mengembun tanpa diminta. Baik, maniknya terlalu lemah untuk meyakinkan diri agar tidak menangis lagi seperti sebelumnya. Saatnya untuk menyapa orang itu, pagi ini.
"Aku datang lagi, Soraru-san..."
Dan jelas, orang yang disapanya takkan pernah menjawab. Atau hanya sekedar tersenyum sebagai tanda ia mendengarnya. Batu nisan itu, tak bisa mengekspresikan apapun kan?.
.
oOo
.
.Tepat seminggu lalu, langit menangis bertubi-tubi. Padahal sehari sebelumnya, langit begitu cerah menunjukkan kebahagiaan yang mengawang di langit. Ini bukan tentang pilihan. Ini bukan tentang benang merah yang dipermainkan Tuhan lagi. Ini sudah termasuk lika-liku takdir yang Tuhan ciptakan. Membuatnya pasang surut bagai ombak, dan kemudian badai.
Firasat buruk memang sudah menghantui Mafu saat tahu bahwa Soraru juga sudah sadar dari komanya. Dan seketika ia ingin perlahan membuktikan apa yang dikatakan Soraru padanya hari itu benar-benar akan terjadi.
Dengan senyuman simpul Soraru menyapanya yang lebih dulu pulih sehingga bisa beranjak dari tempat tidur. Genggaman hangat Mafu juga menyertai senyuman yang ia berikan. Tak ada kehampaan disana, karena Soraru sadar ーakan apa yang sudah ia janjikan pada pemuda penuh harap di sampingnya ini. Agar si pemuda bermanik merah tak lagi mempertanyakan eksistensinya di dunia, agar ia tak lagi menyalahkan Tuhan atas apa yang ia alami. Padahal diam-diam dirinya juga menuntut Tuhan, ingin menarik kembali ingatan yang Ia rebut sepihak.
"Aku tidak lupa janjiku kok.." ucap Soraru dengan suara serak.
Mafu tersenyum menanggapi. Akankah sebuah kebahagiaan muncul dalam firasatnya yang memburuk setelah melihat senyuman Soraru barusan?
"Jika aku melanggarnya, benci saja aku, ya? Aku tidak mau lagi menyakitimu"
"Aku tidak akan bisa melakukannya, Soraru-san. Tolong jangan pinta aku membencimu."
Lagi-lagi Soraru membalas dengan senyuman, dan kembali sayatan tak kasat mata terasa di benak Mafu.
"Tapi sepertinya, aku benar-benar mulai mencintaimu lagi.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why won't you give me likes
Fanfiction[ UTAITE FANFICTION COMPLETED ] Dia juga ingin dicintai, olehnya. | SoraMafu | Angst, BL, sho-ai, rating R, | || cover and story by @shigeyukizero_01 ||