(Dis)kontinu
***
Orang-orang selalu percaya bahwa cara terefektif dalam menyampaikan makna adalah melalui kata-kata. Dalam kasus ini, semesta memberikanku bahasa tersirat bahwa kata-kata tidaklah selalu menjadi bidak utama dalam jalannya penyampaian pesan. Kadang-kadang, ada suatu kondisi di mana semua rasa tak bisa diungkap wicara karena batasan kondisi yang menjerat. Maut dan perbedaan dimensi; kematian dengan persoalan duniawi yang belum usai adalah satu dari pelbagai kasus tersendatnya penyampaian rasa.
Entah genap berapa ratus hari, entah telah berapa purnama terlewati. Pusara itu tampak begitu memilukan. Rumput liar yang tumbuh di sana-sini serta papan nisan yang sudah nyaris tak lagi beridentitas tampak sedikit mencolok di antara pemakaman lain yang dibatasi keramik marmer. Tanahnya yang kering tak dihiasi taburan kelopak mawar seperti makam-makan lain—sebuah tanda menyedihkan bahwa makam itu telah lama sekali tidak dikunjungi.
"Saya datang, Pak," seorang pria tinggi berjas hitam yang membawa sebuket rangkaian bunga tampak menunduk, seakan bersitatap dengan Si Empunya Pusara yang kini terbaring dalam kedamaian.
Aku tahu bahwa tingkahku sekarang ini agak sedikit mengerikan. Menguntit orang yang tengah dalam keadaan berkabung bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan. Sayangnya, aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghindari hal ini. Akan terjadi kegegeran dalam tatanan dunia manusia jika muncul suatu fenomena mengejutkan bahwa ada pohon besar di sebuah pemakaman yang tiba-tiba berjalan sendiri.
"Saya berhasil. Saya berhasil menyelesaikan studi saya berkat doa Bapak. Beasiswa dan keberuntungan-keberuntungan yang menyerang saya seperti durian runtuh itu adalah buah dari doa Bapak. Memang saya saja yang terlampau kurang ajar dan nggak tahu balas budi." Ada kemarahan asing dalam nada bicara itu meski volumenya terdengar begitu kecil. Sebuah kemarahan dengan jenis api tak terpadamkan yang tidak tahu ingin dialamatkan kepada siapa.
Lelaki itu berlutut dengan pasrah. Seakan seluruh tenaga dalam dirinya habis tak bersisa dan hanya suara yang bisa dijadikannya senjata dalam menyampaikan rasa. Jemarinya yang bersih dan sedikit pucat mengusap papan nisan butut yang diwarnai percikan tanah merah.
"Saya tahu kalau meminta ampun sekarang ini, sudah terlalu terlambat. Tapi, demi Tuhan, saya lebih milih melakukannya sekarang ketimbang terus diliputi penyesalan yang nggak akan pernah bisa saya tebus. Kalau segala yang saya punya saat ini bisa ditukar dengan saat-saat ketika saya ada di dekat Bapak, barangkali bakal saya lakukan. Sayangnya, dahulu, anakmu ini terlanjur digelapi oleh mimpi tentang hidup berkemilau harta. Saya bahkan menzalimi Bapak hanya karena nggak mampu memuaskan nafsu saya untuk merasakan hidup mewah."
Lelaki itu menggenggam papan nisan dengan begitu erat. Seakan-akan tak ada lagi kekuatan yang dimilikinya untuk tetap menegakkan tubuh selain hanya berpegangan pada benda itu. Ada genangan air yang tampak membendung di pelupuk matanya.
"Maafkan saya, Pak," isak lelaki itu yang secara mengejutkan telah betul-betul menghujankan tangis. "Saya betul-betul menyesali perbuatan saya."
Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja muncul sekilas gambaran usang di hadapan lelaki itu. Aku tidak memahami mengapa hal ini bisa terjadi. Penglihatan yang dianugerahkan kepadaku hanyalah sebatas kemampuan mengamati kehidupan manusia dari zonaku meski kadang-kadang diliputi jua oleh kemampuan dalam menangkap gambar dari mata mereka yang kupandangi.
Namun, kali ini kasusnya sungguh berbeda. Barangkali, emosi dan rasa bersalah yang terlampau kuat dari lelaki itu mampu membuatnya menciptakan semacam layar tancap maya dengan wujud putaran film lama. Semacam nostalgia acak tak kasatmata perihal yang terjadi antara lelaki itu dengan Si Empunya Makam ketika mereka masih bersama.
Segalanya terputar begitu cepat. Seorang lelaki tua berseragam oranye—seragam petugas kebersihan—yang menyapu jalanan, seorang lelaki tua yang menarik gerobak besar berisi gundukan sampah, seorang lelaki tua yang tampak kelelahan menjajakan air mineral dan permen di tengah kemacetan dan hiruk pikuk jalan raya, dan gambaran-gambaran lain yang berwarna hitam putih, terputar secara kilat seperti lidah petir yang menjilat lapangan kosong.
"Bapak bawa baju seragam buat kamu, Ris. Ini tadi pengasih dari tetangga sebelah. Udah nggak kepake. Kekecilan, katanya. Tapi masih bagus. Coba dipakai, muat atau enggak."
"Ris, makan dulu sebentar. Bapak masak ayam buat kamu. Lumayan, upah Bapak bantu bersihin kandang ayam Pak Amin. Kamu kudu makan yang banyak. Biar besok pagi pas sekolah, bisa fokus belajarnya."
Dalam gambaran itu, tampak pula putaran yang sedikit berwarna—nyaris sepia, berisikan seorang bocah berwajah masam. Tentang ia yang berpura-pura tak mengenali lelaki tua berseragam oranye tadi—yang menantinya berjam-jam di gerbang sekolah. Tentang seorang bocah yang berteriak kepada si lelaki tua lantas pergi sambil membanting pintu triplek.
Kemudian, dalam sebuah putaran yang entah berlatar waktu kapan, terlihat seorang pria berkulit gelap dengan kemeja usang tengah menaiki sebuah panggung. Ia menghampiri seorang remaja laki-laki berseragam putih abu-abu yang mengalungkan sebuah medali emas dan memegang sebuah sertifikat bertuliskan "Juara I Fisika Olimpiade Sains Nasional". Pria itu menghampiri dengan mata yang berkaca-kaca. Lantas dalam waktu begitu singkat, ia memeluk lelaki tersebut seraya berbisik pelan, "Terima kasih, Nak. Bapak bangga sama kamu."
Aku ingin ikut menumpahkan tangis, yang sayangnya tidak akan mampu kulakukan karena tidak ada pohon yang memiliki air mata. Lelaki yang bersimpuh di sisi makam itu menangis tersedu-sedu. Bahunya berguncang karena hunjaman memori yang menyerang seisi kepalanya.
"Buku yang Bapak tinggalkan dalam tas mudik Emak menceritakan segala jerih payah Bapak. Mimpi yang sejak dulu Bapak tenun hanyalah untuk mewujudkan cita-cita saya. Tidak tahu diri adalah definisi yang terlalu bagus untuk mendeskripsikan manusia hina seperti saya. Saya terlampau buruk ... saya ... saya...." lelaki itu terhenti, ia kehabisan kata, barangkali akibat terlalu banyak berbicara.
Dari kejauhan, kutiupkan sepucuk kembang yang baru mekar dengan meminta angin agar menyampaikannya kepada lelaki itu. Kau salah, tetapi mampu menyadari kesalahan adalah harga yang cukup untuk menebus semua kesalahan-kesalahan itu, begitu kurang lebih yang ingin kusampaikan kepadanya. Aku ingin berbicara lewat tarian angin dan nyanyian burung bahwa sejatinya, Sang Empunya Makam sudah tentu memaafkan sejak ia belum dipeluk tanah.
Aku ingin membuatnya memahami bahwa meski ketiadaan wujud menjadikan rasa di antara keduanya seakan tak lagi kontinu, cinta akan selalu bertemu lewat cara paling tidak diduga sekalipun. Rindu dan memori yang tertinggal akan selalu menjadi jembatan yang menghubungkan hati dua orang yang saling mencintai. Meski keduanya tak lagi bersama, meski hubungan di antara keduanya seakan terpisah oleh kejamnya dimensi waktu.
Aku ingin membuatnya menyadari bahwa sejatinya: cinta tidak akan kadaluwarsa.
Meski waktu memiliki akhir masa. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypnagogic
Short Story"Seperti sebuah atom penyusun molekul, di setiap bagiannya akan ada proton yang dikelilingi oleh elektron-elektron negatif. Meski sebaik atau sehebat apapun seseorang, pasti akan ada saja pihak yang tidak setuju dengan apa yang dilakukannya. Itulah...