"Aku adalah orang paling menyedihkan sedunia."
Ucapan seorang gadis berambut pirang yang duduk setengah meter di sebelahnya, membuat si lelaki menolehkan kepala. Lelaki itu mengernyitkan kening, kemudian memandang si gadis dengan tatapan tidak mengerti.
"Maaf?"
"Aku ... adalah ... orang ... paling ... menyedihkan ... sedunia," ulang wanita itu dengan memberikan jeda pada setiap kata yang ia lontarkan seakan tengah menjabarkan sesuatu yang lumrah kepada anak berusia di bawah lima tahun. Kembali, lelaki itu memandang wanita di sebelahnya dengan kedua alis yang saling bertaut. Tak memahami maksud yang disampaikan.
"Anda baik-baik saja?"
Hati-hati, lelaki itu bertanya dengan suara serak. Koran yang ia baca selama sepuluh menit belakangan, tidak lagi mampu meraih fokusnya saat ini.
Alih-alih menjawab, gadis itu justru malah tertawa keras. "Baik-baik saja? Tentu saja! Jelas, aku baik-baik saja," gadis itu bangkit dari duduk, lantas memandangi aliran hujan yang sebelumnya berteduh di atap halte, lantas menarik napas dalam-dalam seakan ia hendak menghadapi hal paling berat dalam hidup.
"Aku tidak cantik. Kulitku gelap dan rambutku tidak indah. Tidak ada lelaki yang mau dengan wanita sepertiku dan keluargaku bukan berasal dari konglomerat sehingga aku tidak memiliki banyak uang untuk bisa tampil gaya. Aku adalah orang paling menyedihkan di dunia!"
Mendengar semua penuturan tersebut, si lelaki tampak sedikit terkejut, kemudian meletakkan koran yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa menit lalu ke tempat kosong di sebelahnya.
"Apakah standar kebahagiaan hanya sesempit itu untuk Anda?" tanya lelaki itu, menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan wanita di hadapannya pertanyaan pula.
Sedangkan gadis itu, kini tampak terdiam seraya merenungi sesuatu. "Tentu saja! Bukankah itu standar yang orang-orang gariskan untuk mendefinisikan kebahagiaan? Aku tidak memiliki paras rupawan, aku miskin, dan tidak memiliki pendamping untuk melengkapi kebahagiaanku. Aku adalah orang paling menyedihkan di dunia! Sebab, aku tidak memiliki apa-apa yang orang-orang harapkan untuk menjadi bahagia."
"Jika menurut Anda standar kebahagiaan hanya seputar hal dangkal seperti itu, maka tidak mengherankan jika Anda tidak bisa menjadi orang yang bahagia." Lelaki itu memberi sedikit jeda pada ucapannya, kemudian bangkit dari duduk dan berdiri tepat di hadapan wanita itu. "Kebahagiaan itu diciptakan, bukan menunggu orang lain memberikannya kepada Anda. Jika Anda menjadikan orang lain sebagai pusat hidup Anda, lantas siapa yang akan menjadi pengendali dari hidup Anda sendiri ketika Anda bahkan tak memiliki kemampuan atas kendali itu?"
Wanita itu bungkam, tak tersisa secuil pun kata-kata terselip di antara bibirnya yang terlihat begitu pucat.
"Jika bintang dalam hidup Anda adalah orang lain dan Anda menjadikan diri Anda sendiri sebagai planet yang mengikuti rotasi itu, bagaimana bisa mekanismenya menjadi benar dalam semesta Anda sendiri?" Lelaki itu terdiam lagi, kemudian melanjutkan. "Hidup ini memang bukan tentang diri sendiri, tapi bukan berarti itu menjadikan alasan bagi kita untuk menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain. Temukanlah kebahagiaan versi Anda sendiri. Kebahagiaan yang tidak mesti sesuai dengan standar yang orang-orang gariskan."
Tanpa aba-aba, lelaki itu pergi begitu saja, meninggal wanita dengan baju kuyup dan rambut lepek itu termenung seorang diri. Perlahan, pandangannya yang semula terpaku pada sepatu putih kumal nyaris keabuan itu menjadi berpindah ke mana lelaki tadi pergi menembus hujan.
Di tempatnya, gadis itu tersenyum tipis sembari berbisik dengan pelan.
"Aku adalah orang paling menyedihkan di dunia dan tidak ada yang mau mengerti hal itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypnagogic
Nouvelles"Seperti sebuah atom penyusun molekul, di setiap bagiannya akan ada proton yang dikelilingi oleh elektron-elektron negatif. Meski sebaik atau sehebat apapun seseorang, pasti akan ada saja pihak yang tidak setuju dengan apa yang dilakukannya. Itulah...