"Sebentuk roh telah berangkat, kembali ke tempat asal-muasalnya. Hidup telah berjabat tangan dengan mati, lenyaplah sudah diri dan kelakuan karena semua telah larut dalam keberatan semesta."
―Ahmad Tohari
-||-
Bunga Tidur Arjuna
Lampung, 1960
Merdeka sudah mati.
Demokrasi mati.
Hak asasi? Mati.
Perang bukan lagi soal kedigdayaan militer. Perang bisa dilakukan melalui banyak hal. Perang ideologi, perang pemikiran, perang batin, perang persepsi, perang saudara.
Tidak! Tidak, kawan. Jangan langsung berpikir tidak-tidak karena kata batin atau pemikiran. Perang yang kusebutkan tadi benar-benar terjadi. Kau tiada perlu bertanya aku ini siapa atau mengapa aku membuat tulisan sampah macam begini.
Sungguh, kawan, bacalah saja hingga akhir daripada banyak-banyak kaubicara.
Begini, aku tinggal di sebuah keluarga. Keluarga itu memiliki sebuah rumah besar dengan gaya aneh ala Eropa zaman kolonial. Kau pernah dengar kata Hindia? Eh, nama itu terlalu tua untuk diceritakan pada masaku ini.
Kau pernah dengar sebuah negara bernama Endonesa? Ya, agak asing bila kau salah seorang saudara yang bertumpahdarah satu denganku. Aku tinggal di sebuah negara bernama Indonesia. Susah menyebutnya, kawan? 'Kan, sudah kubilang tadi. Sebut saja Endonesa. En-do-ne-sa.
Di keluarga kami, kami sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai. Papa ditangkap Jepang dan mati di Selat Malaka saat melarikan diri untuk kembali ke Nederland. Mama, ah, mamaku yang amoi itu. Nelangsanya hidup, dia dijadikan pelampiasan nafsu kotor-para prajurit keparat-sampai mati dan entah bagaimana ceritanya, mayatnya tersasar begitu saja ke pesisir Selat Sunda. Aku, aku tinggal bersama anak-anak gundik papa yang juga tinggal dalam rumah besar ini.
Meski dialiri oleh darah ibu yang berbeda, kasih sayang kami tak terbatasi karena itu. Kami saling menjaga, mengasihi, meski terkadang saling usil dengan meledek satu sama lain.
Keluarga ini diisi dengan lima orang perempuan dan satu orang laki-laki. Aku yang paling bungsu, karena kabarnya, mama sendiri 'dibeli' papa saat baru usia enam belas tahun. Kakak-kakakku yang lain sudah cukup dewasa mengingat mereka pun dilahirkan, jauh sebelum mama bertemu papa.
Abangku, Robert, yang berada delapan tahun di atasku adalah yang paling dekat denganku. Sering ketika masa kecil dahulu, ia gendong aku di punggungnya sambil berputar-putar, menjadikan dirinya sebagai pesawat jet bertenaga jumbo. Pernah pula ia jadikan dirinya sendiri kuda-bahkan tak segan 'menembakkan gas' dari lubang anusnya karena aku terus merengek meminta kuda dan senapan peninggalan papa.
Masa kecil itu tampak terlalu indah untuk dibayangkan-indah, bila kuperhatikan keadaan keluargaku kini yang mulai porak-poranda. Harta waris yang selama ini tak pernah menjadi perbincangan, mendadak menuai sengketa karena papa tak pernah menegaskan akan dijatuhkan kepada siapa, kebun-kebunnya yang mahaluas itu.
Kasih sayang yang tadinya meluap, kini mulai surut bagai laut di kemarau pagi. Tiada lagi belai kasih, tiada lagi tatap cinta yang selama ini mengisi keluarga kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypnagogic
Kısa Hikaye"Seperti sebuah atom penyusun molekul, di setiap bagiannya akan ada proton yang dikelilingi oleh elektron-elektron negatif. Meski sebaik atau sehebat apapun seseorang, pasti akan ada saja pihak yang tidak setuju dengan apa yang dilakukannya. Itulah...