Kau

2.6K 262 89
                                    

Lelaki itu selalu terjaga setiap malam. Merasa tidak pernah ada malam tenang dalam hidupnya. Dulu rasa sakitnya berasal dari penyakit yang nyata. Hingga suatu ketika berubah menjadi hal lain.

Penyakitnya sembuh. Tapi hidup tidak menjadikannya lebih baik. Rasa sakit lain mencengkeramnya tanpa ampun. Sesal, bersalah, dan terpuruk.

Mengeratkan selimut kusam yang membungkus diri. Dia bangun duduk, menatap sendu jendela kamar yang tidak ditutup.

Rumah kecil itu tidak memiliki barang berharga. Tidak bersekat untuk memisah ruang satu dan yang lain. Satu satunya hal yang berarti adalah alat lukisnya. Berserakan kertas, kuas dan percikan cat yang hanya sesekali dibersihkan. Kanvas setengah jadi yang terlantar menambah ruang suram.

Pria itu tidak memiliki semangat selain melukis. Mencoba mengingat wajah terakhir saudaranya. Merasa frustasi setiap kali hanya detakan menyakitkan yang didapat.

Dengan wajah sendu, mata tanpa gairah, jambang berantakan, dirinya menghabiskan setiap waktu untuk menggapai penebusan.

###

Setiap hari dia akan keluar menggendong alat lukis. Berjalan ke jalanan besar hanya untuk menggelar lapak lukisnya.

Atau terkadang dia akan pergi ke tempat sebuah event dan mendapatkan sedikit penghasilan yang lumayan dibanding hari biasa.

Hari inipun dia pergi ke tempat yang lebih jauh dari tempat tinggalnya. Menaiki bus dan sampai di sebuah lapangan yang sudah ramai oleh stand-stand pedagang.

Ada sebuah event dari sebuah perusahaan. Dari seseorang dia mendapatkan tempat untuk membuka lapaknya.

Lapaknya berada diantara stand aksesoris dan penjual minum kemasan.

Dia tidak memperhatikan sekitar. Setelah merapikan peralatan dan menata beberapa lukisan yang sudah diangkut lebih dulu, dia tenggelam dalam kegiatan mempersiapkan alat lukis.

Kali ini dia tidak bisa hanya melukis apa yang dia inginkan. Dia harus memberikan sesuatu yang akan diminati orang untuk menghasilkan uang.

Maka sedikit lebih berusaha, pria itu menggali ingatannya lebih jauh. Memikirkan sejenak apa yang akan menarik minat pembeli.

"Paman, bisa lukis aku dan adikku?"

Pria itu mengangguk. "Akan kusiapkan tempat untuk kalian duduk." Tapi gadis itu datang sendirian.

"Anni. Aku membawa foto." Gadis muda itu merogoh tas selempangnya. Menarik selembar kertas. "Apa bisa selesai hari ini? Atau aku harus menunggu berapa lama?"

"Jika kau terburu, aku bisa selesaikan hari ini. Tapi, tidak cukup waktu untukku melayani yang lain."

Gadis itu berfikir sejenak. "Bagaimana jika jasa antar? Kau tidak perlu cemas soal biaya. Aku akan mengganti semua biaya. Seperti itu, bisa?"

Gadis muda itu tersenyum lebar setelah mendapat anggukan. Dia lantas menuliskan alamatnya dibalik foto. Dan menyerahkan foto itu pada si pelukis.

"Paman kau harus melukisnya dengan sempurna. Itu akan jadi kado perpisahan untuknya nanti. Aku akan segera pergi ke Vienna untuk kuliah. Jadi aku ingin dia selalu mengingatku dengan lukisan itu."

"Aku akan selesaikan dalam 2 hari."

"Baiklah paman. Ah, berikan juga nomor yang bisa kuhubungi. Bukan aku tidak percaya, tapi..."

Pria itu tidak tersinggung. Dia mengeja nomor tetangganya karena dirinya tidak memiliki ponsel atau telepon kabel.

Wajah datar sendunya nampak suram di mata sang gadis. Karena itu, gadis itu harus memastikan lukisan yang dia pesan benar-benar dikerjakan.

GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang