Hampir tiga bulan kulewati hari demi hari, sudah beberapa kali mentari sili berganti pagi lalu menjadi malam, selalu terpikirkan apa yang sedang kau lakukan dan dengan siapa engkau sekarang, komunikasi jarak jauh kadang-kadang dapat menepis segala kepiluhan hati sembari mengetahui kabarmu disana dan memberitahu kabarku disini, kalimat yang sangat jelas selalu terekam dalam memori otakku sebagai petunjukku menjalani kehidupan tanpamu yaitu jaga mata, jaga hati dan jaga pikiran. Tiga aspek utama yang kau pikir harus kulakukan untukmu, maaf bukan untukmu, sampai saat ini belum ada kejelasan untuk siapa aku harus menjaga semua itu, tak pernah kau sebutkan dengan jelas bahwa ketiga penjagaan tersebut harus kulakukan demimu sama sekali tak pernah, dirimu bukan istriku, bukan juga kekasihku, dirimu saat ini sebagai seseorang yang begitu spesial di mataku dan di hatiku yang pernah mengisi hari-hariku sebelumnya lalu telah kau buka pintu hati ini dan seolah-olah dapat keluar masuk di dalam perasaan ini, aku tak tahu darimana aku memberimu kunci untuk masuk lalu pergi sebisa kau mau. Memang tak pernah ada kejelasan antara aku dan kamu sama sekali belum ada karena di dalam pikiranmu suatu kejelasan harus diikuti dengan komitmen untuk menghalalkanmu sesuai syariat agama kita, hal tersebutlah sampai sekarang yang membuatku tak pernah tahu apa isi perasaanmu karena aku belum berani berkomitmen untuk meminangmu. Iya semua tentang aku dan dirimu yang awalnya penuh dengan kemisteriusan berubah menjadi asam manis hubungan lalu diakhiri dengan sebuah keputusan jarak yang merubah segala sikap dan keputusan antara kita sampai kita dipertemukan lagi dalam beberapa waktu lalu terpisahkan lagi , bertemu lagi lalu dipisahkan lagi, iya dengan siapa lagi yang memisahkan kita, dialah jarak, sebuah kata yang sangat mengganggu ditelingaku saat kuucapkan sendiri maupun harus kutuliskan dengan jari jemariku dalam tulisan ini. Apa yang harus kulakukan dengan jarak ini?
