Sesuatu Yang Dimulai, Tentu Harus Diakhiri

501 39 30
                                    

Suara-suara berisik di depan berhasil mengalihkan perhatian gadis berambut hitam tersebut. Bibirnya mencebik ketika melihat siapa Si pembuat onar.

"Jangan khawatir, urusan cewek-cewek itu... biar aku yang urus!"

Suara cowok itu tertangkap juga oleh Embun. Aresh, cowok pembuat onar, sok keren, dan sok tampan. Pokoknya hal-hal buruk memang sudah melekat pada sosok itu. Yah... , setidaknya bagi seorang Embun. Mungkin hanya Embun yang berpikiran buruk tentang seorang cowok tampan, kaya, dan terkenal macam Aresh.

Aresh menyugar rambutnya. Tawa jenaka keluar dari mulutnya saat ia bersenda gurau dengan teman-temannya. Cowok itu bangkit dari duduknya. Dengan penuh percaya diri dia berdiri di depan kelas.
"Biar kuluruskan, untuk kalian semua ... Khususnya para cewek-cewek, jangan dengarkan gosip, apapun itu berita sialan tentangku dan cewek jurusan bahasa itu tidak benar."

Seluruh perhatian kini tertuju pada Aresh. Beberapa cewek berteriak histeris dan teman-teman lainnya saling bersorak sambil bertepuk tangan.


Memang beberapa minggu terakhir gencar gosip yang tersebar bahwa Aresh tengah berpacaran dengan salah satu anak jurusan bahasa. Rupa-rupanya Aresh sedang meluruskan gosip itu.

"Dengar! Seorang Aresh masih single dan kalian para cewek masih memiliki kesempatan!" teriak Nathan dari bangkunya. Kelas jadi semakin ribut.

Embun menggelengkan kepalanya.

Dasar tidak waras!

Embun tidak mau ambil pusing. Kelakuan Aresh memang selalu seperti itu, membuat onar dan mengganggu orang lain. Akan lebih bijak jika Embun memilih untuk kembali membaca novel yang berada di atas pangkuannya.

"Jadi, kamu dengar kan?"

Tidak lagi. Suara menyebalkan itu terdengar dekat. Tanpa harus bersusah payah menebak, Embun sudah tahu siapa pemilik suara itu. Embun mengangkat kepala dan didapatinya Aresh yang sudah tersenyum penuh arti di depan mejanya.


"Apa?" Sebenarnya pertanyaan itu ia lontarkan dengan sangat malas. Apa boleh buat, Aresh tidak akan berhenti begitu saja.

Aresh menyeringai. Tanpa aba-aba ia sudah mengambil tempat di depan Embun. Duduk betah menatap Embun yang sudah luar biasa jengah.


"Kamu dengar 'kan apa yang kukatakan tadi?" ulang Aresh sekali lagi.

Embun mengembus napas berat. Matanya sudah beralih pada barisan kata yang tercetak di dalam novel. Tidak benar-benar membaca. Ia hanya malas menatap wajah jahil Aresh.


"Suaramu sekencang itu bagaimana aku tidak dengar?" Bukan pertanyaan, Embun sedang bersarkasme.

Aresh menangkap sarkasme Embun dengan baik, meskipun begitu, seringainya justru semakin tajam.
"Kalau begitu kamu pasti lega."
"Lega?"
Aresh mengangguk, wajahnya sudah serius. Kedua matanya menyorot Embun yang keheranan. Ia menunjuk Embun. "Ya, kamu masih ada kesempatan untuk mendapatkan hatiku, jadi kamu pasti lega."

Sebelum ke sekolah Embun yakin Aresh sudah menabrak tiang atau sesuatu. Karena sepertinya kepala cowok itu terganggu.


"Berhenti membual," tekan Embun dingin. Gadis itu akhirnya sudah sampai pada batas kesabaran. Ia bangkit dan berniat untuk keluar kelas. Ketenangan yang sedari tadi ia jaga akhirnya direnggut. Dan itu karena Aresh. Cowok yang paling Embun hindari.

"Ingat Embun, hati saya masih belum ada yang memiliki, jadi jangan menyerah!" Suara bariton Aresh terdengar memenuhi ruangan. Kali ini Embun ikut-ikutan jadi pusat perhatian.

Sialan benar cowok brengsek Itu!

Langkah Embun terhenti begitu saja. Saat ia menoleh, Aresh justru mengedipkan sebelah matanya. Siul-siulan terdengar bersahutan. Embun jengkel luar biasa. Kedua tangannya mengepal erat. Dengan terburu-buru gadis itu berlari ke luar kelas.

N Y A L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang