Gadis Manis Tanpa Senyuman

177 13 15
                                    

"Ini sudah berlebihan. Rasaku untukmu."
(Author)

••••

Hujan sudah turun mengguyur bumi. Suara rintiknya dulu selalu menenangkan bagiku. Hujan. Dingin. Kopi. Kehangatan. Mereka sama. Seolah disatukan untuk sebuah kenyamanan yang sempurna. Dari arah jendela kamar, aku melihat rinainya berjatuhan. Aku menggigit bibir bawah. Tanganku bergetar. Tubuhku terasa ringkih.

"Embun," suara seseorang yang tidak asing lagi, terdengar. Aku mendengarnya. Tapi dengan sengaja aku tidak merespon. Atau aku sudah tidak sanggup lagi bicara. Mataku masih memandang nanar ke arah kusen jendela. Tenang. Seolah tidak ada hal yang terjadi. Seolah semuanya bergerak sesuai keinginan. Seolah aku baik-baik saja.

Sebuah tangan meremas bahuku yang terbalut kemeja hitam. "Sudah saatnya. Pemakaman akan segera dilakukan. Kini saatnya untuk melepaskan, untuk sebuah kedamaian abadi."

Kedamaian abadi?

Aku hampir terkekeh sinis, tapi sekali lagi, aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk itu.

"Apa dengan melepas, setelah ini semuanya akan berakhir? Kenapa orang percaya dengan mengikhlaskan maka tidak akan ada luka yang tersisa? Seolah melepaskan adalah cara terbaik," suaraku terdengar serak.

"Sayang, jangan lakukan ini. Bahagialah. Lepaskanlah. Setidaknya untuk mereka."
Tante Laras masih berusaha untuk menenangkanku. Tapi itu semua sia-sia. Kepalaku sudah buntu. Aku bahkan tidak mampu berpikir dengan benar.

Aku menyeringai. Seringai penuh ironi. "Bahagia? Mungkin itu emosi terakhir yang akan kurasakan."

••••


"Mau ke mana?" Ava berjalan menuju Embun.

Embun hanya mengangkat kedua bahu. Nampak begitu malas. Kepalanya kini terasa pusing. Urusannya dengan Pak Bimo belum selesai. Ah! Nilai sialan! Embun menggurutu hebat dalam hati. Bukan masalah kalau saja ia harus belajar basket. Tapi yang menjadi biang kegalauannya adalah Aresh. Kenapa pula Pak Bimo merekomendasikan makhluk menyebalkan itu? Mau ditaruh di mana harga dirinya? Embun tidak biasa meminta. Ia terbiasa melakukan semuanya sendiri.

Ava mengerutkan dahi, nampak bingung dengan sikap dramatis Embun. Gadis itu ikut duduk di kursi panjang yang ada di depan kelas. Mereka sudah mengganti baju olahraga dengan seragam.
"Kamu tidak haus? Bagaimana kalau kita ke kantin?" tawar Ava.

Embun menoleh sedikit. Matanya itu berkedip malas. Setelah itu, ia menatap lurus ke arah lapangan. Dari tempat mereka, dapat terlihat para cowok yang sedang main basket. Mata Embun secara refleks tertuju pada Aresh. Cowok itu membawa bola dengan lihai. Harus Embun akui, Aresh memang ahli dalam basket. Namun wajahnya menjadi masam saat mengingat perkataan Pak Bimo. Oh, ya. Tentu ia harus menyelesaikan urusannya dengan Aresh.

"Aku tidak terlalu haus, kamu bisa pergi jika mau," ujar Embun setelah terdiam beberapa saat.

Ava menyorot Embun sebentar, tapi kemudian ia mengangkat kedua bahu dan berujar, "Baiklah, tapi kalau kamu berubah pikiran, aku ada di kantin."
Embun mengangguk.
Setelah Ava pergi. Embun bangkit dari duduknya. Matanya masih betah memaku ke arah lapangan. Permainan sepertinya sudah selesai. Para lelaki itu satu persatu keluar dari lapangan.

N Y A L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang