Mereka Terbelenggu Karena Mereka dicintai

301 28 19
                                    

Aresh sedikit menggeser buku yang sedari tadi ia tatap. Sebenarnya, kedua mata terus memaku lembaran kertas itu, namun sang pemilik mata sedang tidak memfokuskan pikirannya pada buku tersebut. Kini saat merasa jengah cowok itu menutup bukunya dengan gerakan kasar.

"Menyebalkan!"

Suara Aresh yang terdengar nyaring berhasil mengambil perhatian Resha. Gadis bermata sipit itu mengernyitkan alisnya. Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa adiknya terlihat sangat gusar.

"Kenapa, sih, Resh? Kamu tuh dari tadi grasak-grusuk. Persis seperti cacing kepanasan," tanya Resha akhirnya. Karena ulah adik bungsunya itu fokusnya ikut-ikutan buyar.

Aresh yang sedang rebahan di atas sofa ruang tamu lantas menoleh. Pemuda itu tidak menjawab. Malahan wajahnya jadi makin muram.

Resha jadi makin bingung. Setelah menghela napas gadis itu menatap adiknya dengan serius.
"Ada apa? Kelakuanmu makin aneh saja."

Aresh bangkit dari rebahannya. Setelah berpikir ia berjalan mendekati Resha yang duduk di ujung sofa.

"Kak, biasanya kalau cewek nangis itu karena apa?" tanya Aresh langsung. Namun setelah beberapa detik kemudian cowok itu resmi menyesali perbuatannya. Ia menyesal sudah bertanya pada Resha. Karena respon kakaknya setelah itu luar biasa menyebalkan. Tawa Resha pecah hingga mememuhi ruang tamu.

"Heh! Malah ketawa. Aresh serius!" papar Aresh jengkel.

Resha menekan perutnya, tawanya mulai mereda. "Habis, kamu itu lucu. Aku pikir kamu sedang menggusarkan sesuatu yang berat. Tapi ternyata masalah cewek."

"Serius! Kira-kira kenapa?"

Resha menekuk bibirnya. Selang kemudian wajahnya sudah serius. "Mana kakak tau."
"Yee, kakak 'kan cewek. Pastinya tau."
"Tidak juga. Kamunya saja yang tidak mengerti. Cewek itu lebih rumit dari yang kamu bayangkan."
"Lalu?" berondong Aresh tak mau tau. Resha mengangkat bahunya. "Ya, kakak tidak tau. Kamu menanyakan hal yang terlalu umum."

Aresh mengembus napas berat. Dengan kasar ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. "Sama saja bohong kalau begitu."

Resha memperhatikan tingkah adiknya. Ada beberapa spekulasi yang bermunculan dalam pikirannya. Adiknya itu tidak pernah bertingkah seperti ini. Biasanya ia tidak terlalu memusingkan perihal cewek.

"Hey, Resh. Memangnya kenapa? Dia cewek gebetanmu, ya? Atau pacar barumu?"

"Bukan!" sahut Aresh ketus.
"lalu? Kenapa segusar itu?"
Aresh mengacak rambutnya. "Sudahlah, Kak. Jangan bikin saya makin pusing."
"Dasar! Kamu yang ganggu orang sedari tadi." Karena kesal Resha menimpuk Aresh dengan bantal yang ada di sofa. Untung saja refleks Aresh masih bekerja dengan baik. Jadi wajahnya tidak jadi tertimpa bantal melayang tersebut.

"Kakak menyebalkan," pekik Aresh jengkel. Kepalanya makin pusing karena ulah Resha. Dengan kesal diraihnya bantal yang sempat melayang tadi. Akhirnya terjadilah perang bantal dadakan.

"Hey, hey. Kalian kenapa ribut-ribut. Aresh, suaramu itu terdengar sampai dapur tau." Seorang wanita cantik berumur di akhir 30-an nampak keluar dari dapur. Matanya bersinar marah ketika melihat perilaku putra dan putrinya.

"Bukan salah Aresh, Kakak saja yang menyebalkan," bela Aresh.
"Uh, huh. Salahku? Enak saja," balas Resha tak terima.

Kenya menggelengkan kepalanya. Kelakuan mereka berdua tak ubah seperti anak kecil yang bertengkar. Padahal satunya sudah SMA dan yang satunya lagi sudah kuliah.
"Sudah-sudah, kenapa semakin ribut? Aresh, lebih baik kamu bantu ibu. Tolong ambilkan pesanan kue ibu di toko tante Hana."

N Y A L A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang