prolog

17 2 0
                                    

Terdengar bunyi samar jari yang diketukan dimeja bundar mini berdiamer 70cm. Laptop dengan cover case pink dan gambar salah satu idola korea menutupi wajah wanita yang sedari tadi duduk sendirian dan hanya memfokuskan pandangannya pada layar datar berukuran 14 inch itu. Sesekali helaan nafas berat keluar dari hidung mancungnya. Lipstik merah merekah menghiasi bibirnya yang tipis, seakan membuat siapapun tak tahan untuk tidak menoleh kembali pada empunya. Dres polos hitam yang dia kenakan terlihat begitu anggun, memperlihatkan kulit putih, rambut ikal yang terikat asal menambah kesan seksi. Perpaduan antara elegan dan casual.

Beberapa kali ponselnya berbunyi, namun dia masih tak bergeming dari menatap layar laptop. Masih berputar putar dengan hal yang sama dari beberapa menit yang lalu saat dia duduk dicafe bergaya klasik itu. Secangkir kopi luak bertegger manis disisi kiri meja. Alunan musik barat dengan ritme pelan mengusai ruangan berukuran 20 x 20 meter itu, cukup besar untuk ukuran cafe dipinggiran kota. Suasana petang yang tenang walaupun pikirannya masih sibuk berkeliaran kesana kemari memikirkan ide ide terbaik untuk fashionweek beberapa bulan lagi.

Dia sedikit menggeser letak kursinya mengambil posisi sedikit menjauh dari meja. Punggungnya terasa pegal dan matanya mulai memanas. Bekerja menjadi seorang fashion designer disalah satu brand ternama bukannya hal yang gampang. Tuntutan untuk selalu menciptakan karya karya baru dan mengikuti alur fashion terkadang menyita waktu. Beruntung disabtu petang seperti sekarang dia bisa menikmati waktu untuk dirinya sendiri walaupun tak lupa laptop mungil itu masih dengan kokoh ada dihadapannya.

Suara ponsel yang mulai membombardir membuatnya menoleh juga pada layar yang lebih kecil itu, dengan enggan dia membuat sederet pesan chat yang masuk, dia hanya sesekali mengetik pesan untuk seseorang lalu menutupnya kembali, meletakkan benda persegi itu ketempat semula.

Dihirupnya kopi luak dengan aromanya yang khas, menenangkan. Bagi seorang wanita yang selalu sibuk, aroma kopi bisa membuat pikirannya kembali jernih walaupun itu hanya untuk beberapa saat saja.

Aroma yang membuat nya candu dalam beberapa tahun terakhir.

Teman yang selalu setia menemani saat dia harus bergadang hingga larut malam.

"Hai, Vanny"

Tak butuh waktu lama membuat nya menoleh karna merasa namanya telah dipanggil. Suara berat yang sangat dia kenali.

Seulas senyum memamerkan sederet gigi putih lengkap dengan lesung pipi dan kaca mata berfram hitam membuatnya mengenali siapa orang yang kini berdiri tepat dihadapannya.

Orang yang amat sangat dibenci namun juga dirindukan. Yang amat sangat tidak ingin dia temui lagi namun selalu hadir dalam mimpi. Orang yang tidak akan pernah menjadi miliknya namun selalu ada didalam angan. Matanya mengerjap beberapa saat memastikan bahwa apa yang dilihatnya kini bukan ilusi semata seperti yang selama ini dia lakukan. Pria itu semakin mendekat. mengulurkan tanggan menuntut untuk disambut.

"Apa kabar? Lama ngga ketemu ya" tambah pria itu, masih tetap dengan lesung pipinya.

Tangan itu terlihat lebih besar dan berotot dari yang terakhir kali dia lihat. Dengan separuh kesadarannya Vannya menerima uluran tangan itu sambil mengangguk kaku.

"Baik .."

Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya. Segala hal yang dia rencakan, dia bayangkan, apa saja yang akan dia lakukan saat bertemu pria ini lagi, semuanya telah musnah, telah hilang.

Bahkan dia sendiri lupa dengan apa yang sudah direncangnya sejak jauh sebelum hari ini terjadi. Dia belum siap untuk menghadapi situasi seperti ini. Bahkan mungkin dia tidak akan pernah siap.

"Ahh ... bodoh" batin Vannya dalam hati.

Dia merutuki sikapnya yang masih sama seperti bertahun tahun lalu saat berhadapan dengan mahluk Tuhan satu ini.

Mungkin bintang terlalu jauh untuk digapai semut. Namun bukankah tak pernah ada larangan untuk semut bisa menikmati indahnya bintang?  Hanya dengan menatapnya saja itu jauh lebih dari cukup.

coffea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang