"Pagi sayang" terdengar teriakan kas dari laki laki berperawakan cina. Penampilannya sangat sangat kontras dengan perawakannya. Badannya yang besar dengan otot otot tangan, dibalut dengan kaos ketat dan celemek masak. Tangan kirinya memegang teflon sedang tangan kanannya sibuk membolak balikan telur dengan spatula.
Kecupan hangat mendarat di pipi Law, tangan mungil melingkar dipinggangnya, gadis itu menempelkan pipinya dipunggung kokoh yang selamanya ini selalu sigap melindungi. Law membiarnya anak gadisnya itu bersandar sebelum memulai kegiatan yang melelahkan hari ini. Setidaknya dengan adanya Vannya, Law tidak kesepian. Setelah kepergian wanita yang paling dicintai, dia hanya punya Vannya. Apapun yang dilakukan, diperbuat bahkan dia hanya hidup untuk Vannya.
Mobil putih berhenti tepat didepan gerbang sekolah, Vannya turun dan segera berjalan menuju kekelasnya. Seperti biasa pukul 6.20, masih terlampau sepi. Hanya ada beberapa anak dan tukang kebun.
Brakkkk
Suara sesuatu terjatuh terdengar begitu nyaring dari arah tangga menuju lantai 2. Vannya menghentikan langkahnya. Sedikit memiringkan kepala dan menerka apa yang terjadi diatas. Gadis itu masih berhenti ditempatnya, menimbang apakah akan naik untuk memastikan suara apa itu atau berlalu seperti tak mendengar apapun. Namun rasa penasaran lebih mendominasi, dia menaiki anak tangga mencoba mengintip apa yang sebenarnya terjadi. Mata nya melolot melihat pemandangan yang selama tak pernah dilihatnya. Seorang laki laki, ah bukan dua orang laki laki sedang adu jotos disana. Dan astaga salah satu diantara mekera sepertinya sudah akan mati. Darah mengalir deras dihidung dan juga mulut laki laki itu. Sedangkan yang satunya masih dengan beringas duduk memukuli lawannya yang sudah bisa dipastikan kalah telak. Vannya berlari dan mendorong salah satu diantara mereka."Lo ngga papa" tanya Vannya dengan raut wajah khawatir. Tak ada jawaban dari laki laki itu, atau mungkin tak sanggup lagi untuk menjawab. Mata Vannya kini beralih pada laki laki yang terlihat masih mengepalkan tangannya. Varel. Batin Vannya menyebut nama orang itu.
Setelah Vannya memanggil salah seorang tukang kebun akhirnya laki laki yang terkapar tadi dibawa ke ruang UKS, dan Varel si biang keladi itu kini tengah meringkuk diruang BK.
"Hai" sapa Vannya ketika jam istirahat tiba, dia mampir untuk memberi roti. "Udah baikan?"
"Ahhai. Udah kok, thanks Va" jawab laki laki itu sambil berusaha duduk. "Oiya gue Aldo"
"Hmm gua Vannya"
"Udah tau kok. Kakak kelas yang punya julukan the power of va itu kan? Sang legendaris" canda Aldo yang membuat mereka berdua kini tertawa.
"Jadi lo masih anak kelas 10? Kenapa sampe berantem gitu sama Varel?"
"Yahh ada sedikit problem aja...."
Brakk. Suara pintu UKS dibuka dengan paksa. Sosok Varel yang selama ini dikenal sebagai bad boy tingkat dewa muncul dibaliknya. Dengan tangan mengepal dan tatapan dingin dia berjalan menuju kearah Vannya dan Aldo. Dengan kasar Varel menarik tangan Vannya.
"Urusan kita belum kelar" suara Varel benar benar terdengar horor. Kemudian dia pergi dengan tangan masih menggandeng Vannya.
"Apaan sih lo" bentak Vannya ketika sampai diluar UKS. Gadis itu menatap Varel dengan tatapan marah, namun si bad boy itu malah balik menatapnya lembut kemudian berlalu begitu saja tanpa sepatah katapun. Meninggalkan Vannya yang masih mengeluarkan sumpah serapah pada adik kelas pembuat onar itu disekolah itu. Vannya mengernyitkan keningnya, kenapa punggung bocah itu mengingatkan pada punggung yang dilihatnya sewaktu dipemakan.
Seperti biasa pukul 07.00 Yuyun dan Vannya sudah duduk dengan tenang didepan meja belajar di kamar Vannya.
"Yun" Tanya Vannya yang membuat sahabatnya itu menoleh. "Si Varel itu, dia itu hmm agak aneh ya"
"Aneh gimana maksut lo?" Tanya Yuyun dengan wajah bingung. "Dia itu bad boy. Jangan deket deket sama orang kayak begitu" kata Yuyun dengan tatapan memperingatkan kas ibu ibu beranak dua.
"Lo inget ngga yang gue cerita dipemakaman gue lihat ada makam baru dan ada laki laki disebelahnya? Tadi gue lihat punggung Varel dan gue langsung keinget sama punggung orang itu" celoteh Vannya dengan mengetukan pensil kearah pelipisnya. Memang seperti itu kebiasaan Vannya ketika dia mencoba mengingat sesuatu.
"Jadi intinya maksut loh laki laki dipemakan itu Varel? Gitu? Terus apa hubungannya sama lo Vannya? Jangan deket deket dia ah. Lo tau sendiri kan reputasi dia kayak gimana. Udah sama kak Jo aja" goda Yuyun yang dibalas dengan denggusan oleh Vannya.
Line
Dering ponsel Vannya berbunyi. Menampilkan sederet pesan dari orang yang tidak ditemuinya beberapa hari belakangan. Seulas senyum mengembang manis dibibir Vannya."Siapa sih Va, sampe nyuekin gue" rengek Yuyun yang membuat Vannya menoleh, memperlihatkan layar ponsel itu pada sahabatnya. Kini Yuyun ikut tersenyum. Dan akhirnya mereka berdua larut dalam chatting bersama Jo.
Sudah seminggu Jo absen dari sekolah. Dan sekarang adalah jadwal UTS, tentu saja hari ini Jo akan masuk. Seusai ujian pertama Vannya melenggangkan kakinya menuju kantin. Gadis itu termasuk jarang sekali pergi kekantin, dia paling malas jika harus berjubel dengan orang orang yang kelaparan itu. Namun karena ada UTS Vannya harus mengisi perutnya dengan cukup agar otaknya bisa berfikir jernih.
Saat Vannya melewati beberapa meja yang sudah penuh dengan segerombolan siswa SMA Tugu, matanya kembali memperhatikan punggung yang kini duduk beberapa meja dari tempatnya berdiri kini.
"Dasar bocah, udah tau masih kelas sepuluh ngapain dikantin kelas sebelas" batin Vannya dalam hati. Di SMA Tugu katin setiap angkatan memang terpisah. Agar tidak terlalu berjubel, yaa walaupun masih saja tetap seperti itu.
Varel menoleh mendapati Vannya tengah menatapnya dengan aneh. Kini giliran Varel yang menatap Vannya bingung. Namun begitu lah Vannya ngga pernah ada matinya, saat dia kedapatan menatap orang lain dia akan mendenggus dan membuang muka dengan malas lalu berjalan begitu saja, seakan memberi tatapan menghina.
"Lo mau apa va?" Tanya Okta yang kini sudah berada tepat didepan meja ibu kantin.
"Bakpo goreng" jawab Vannya ringan.
"Ngga makan?" Tanya Yuyun. Vannya memang hobi makan bakpo coklat goreng.
"Males. Tadi pagi aku udah makan banyak" kata Vannya lalu melenggang menuju meja kosong.
"Hai" seseorang tiba tiba saja duduk didepan Vannya sambil melipat tangannya didada. "Lama ngga ketemu ya va, makin cantik"
"Apaan sih" jawab Vannya sambil malu malu. Sumpah demi apapun Vannya benar benar merindukan Jo. "Ngapain disini?"
"Emm pengen ketemu kamu aja" jawab Jo enteng. "Udah pesen? Aku pesenin nasi goreng ya?" Tawar Jo yang dibalas dengan anggukan oleh Vannya.
Kini dimeja itu sudah ada Okta, Yuyun, Vannya dan tentu saja Jo yang sedang berjalan dengan dua piring nasi goreng.
"Nih, makan yang banyak" kata Jo memberikan satu piring penuh nasi goreng untuk Vannya, setelah itu mengusap perlahan rambut Vannya. Gadis itu menyambut dengan antusias dan segera memakan nasi gorengnya.
"Katanya ngga laper, tu kayak orang yang ngga makan seabad" ucap Okta pelan pada Yuyun, yang hanya dibalas senyum simpul.
Tanpa mereka sadari ada sosok yang mengamati interaksi mereka berempat sedari tadi. Yang ikut tersenyum saat melihat Vannya sesekali tersenyum. Tatapan lembut yang entah apa maksutnya. Yang dia tau Vannya cantik ketika tersenyum. Benar benar cantik. Dan dia sendiri yang akan memastikan bahwa senyum gadis itu tidak akan pernah hilang sampai kapanpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
coffea
Teen FictionTak semua cinta bisa kita miliki. Terkadang ada cinta cinta yang datang, untuk menyapa. Mengingatkanmu. Memberi tahu, bahwa yang tertakdir tidak akan pernah tertukar. Cukupkan saja. Karna secangkir kopi hitamu adalah kopi favorit ku