Awal Agustus 2015
Rumah Sakit Harapan Bunda Jakarta
Safira di pindahkan ke Rumah Sakit Harapan Bunda jakarta. Awalnya dia menolak, tapi ini adalah sebuah tugas yang harus dia emban. Fira tidak ingin menjejaki kaki di ibukota. Sebab laki-laki yang selama ini di tunggunya menghilang di ibukota.
Mama begitu bahagia saat mendengar Fira dipindah ke Jakarta. Padahal mama begitu antusias jika putri semata wayangnya jauh dari pengawasan mama. Seperti ketika kuliah di negri pangeran William itu. Jika seandainya dia tidak mendapat beasiswa itu mama tidak akan pernah mengizinkan. Dan sekarang mama bahagia karna disini ada tunangan fira yang menurut mama bisa menjaga Fira dengan baik.
“ Dokter Fira, ada pasien di ruangan 115 “ ujar seorang suster
“ Saya akan segera kesana “ jawab Fira
Dia menghela nafas lalu berjalan menuju ruang 115 di lantai tiga. Sebetulnya dia lelah bekerja seperti ini . waktunya lebih sering dia habiskan di Rumah sakit daripada di rumah. Tapi selelah apapun dia, ini adalah tanggung jawabnya. Fira masih berdiam di dalam lift menunggu sampai lantai yang dia tuju. Tepat dilantai empat pintu lift itu terbuka. Fira membuka pintu bangsal itu. Seorang anak kecil yang terbaring di ranjang putih dengan di dampingi seorang wanita disebelahnya, mungkin itu mamanya.
“ Assalamu’alaikum , selamat siang “ sapa lembut Fira
“ wanita itu menoleh, mereka terkejut. Keduanya membisu, membiarkan kesunyian membongkar sebuah sejarah yang pernah mereka ciptakan.
“ Shinta . . . . “ pekik Fira yang langsung memeluk wanita itu. Pertemuan dua sahabat, tiga tahun memisahkan mereka dan sekarang Allah mempertemukan mereka kembali.
Fira melepaskan pelukannya, memandang takjub sahabatnya yang banyak berubah. Begitupun dengan tampilan wajahnya terlihat cantik dengan balutan kerudung biru yang membungkus mahkotanya.
“ Aku gak nyangka kita bertemu disini” lanjut Fira
“ aku juga Fir benar-benar tak disangka”
“ “ Kamu apa kabar ? kenapa pergi gak pamit ? “ Fira mengajukan banyak pertanyaan
“ Maaf, waktu itu keadaan benar-benar mendesak. Kamu bekerja di Rumah Sakit ini?“
“ Iya, tiga bulan yang lau aku dipindahkan ke Jakarta
“ Bunda . . . . . “ terdengar suara rengekan
Mereka berdua menoleh. Shinta mendekap anak itu seraya menghiburnya agra berhenti menangis. Sementara Fira masih bingung melihat adegan di depannya.
“ Shinta, dia anak kamu ? “
Shinta mengangguk, “ Iya Fir, ini anak aku, namanya Savina dia lagi sakit “ Tutur shinta sedih
“ Jadi kamu sudah menikah ? “ Shinta mengangguk lagi
“ Subhanallah “ Fira memeluk sahabtanya lagi, Fira senang ketika mengetahui sahabatnya telah menikah dan telah dikarunia seorang malaikat yang sangat lucu. Umur mereka sama 26 tahun. Seharusnya Fira sudah menikah dan memilki anak seperti Shinta. Tapi cintanya tetap berlabuh pada Ifan, laki-laki yang entah dimana sekarang keberadaannya dia sudah terlalu lama menunggunya.
“ kenapa nikah gak bilang-bilang ? “
“ Maaf, aku kehilangan kontak kamu “
“ Suamimu kemana ? “
“ Kerja, kamu sendiri sudah menikah atau ? “
“ Aku masih single loh, “ Timpal Fira cepat
Keduanya lantas tertawa lepas, mereka seakan tak perduli kalau mereka sedang berada di Rumah Sakit. Pandangan Shinta tiba-tiba tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Shinta meraih tangan Fira dan memerhatikan cincin itu.
“ Ini cincin apa ? “
“ Tunangan “
“ Lah, tadi katanya single “
“ Single bukan berarti sendiri Shinta sayang. Artinya aku masih sendiri meski aku punya tunangan. Hubungan diantara kami hanya ikatan pertunangan gak lebih. “
“ Siapa laki-laki beruntung itu Fira ? “ Fira tak menjawab, dia hanya tersenyum manis pada Shinta.
Laki-laki beruntung
Atau aku yang beruntung ?