Kopi, Vanila, dan Mete masih sekelas denganku. Benar-benar mereka memang jodohnya kuat sekali denganku. Kopi selain anak yang asyik, mudah bergaul, dan berbaur, dia juga pintar. Peringkat kelasnya selalu bersusul-susulan denganku. Vanila, langganan peringkat 10 besar. Mette juga. Mereka bertiga tau kisahku yang diselingkuhi Latte. Aku menceritakannya saat liburan kemarin. Kopi, Mete, dan Vanila menginap tiga hari dirumahku. Semua hal kubagi ceritanya dengan Kopi, Mette, Vanilla, dan Susu. Mereka pun akan begitu kepadaku.
Hari Rabu. Aku tengah bersandar di dinding pembatas teras depan kelasku. Kelasku di lantai dua sekarang. Yeay! Seru juga punya kelas di lantai atas. Meski capek harus naik-turun tangga, tak apa. Ada pematang sawah dan angin disekelilingnya yang menyejukkan mata.
Kopi, Mete, dan Vanila datang. Ikutan bersandar.
"Eh, Ibu kamu otoriter, ya, Nat" Kata Kopi.
"Begitulah" kataku lemah.
"Kalau pacaran kamu diam-diam?" Kali ini Vanila yang bertanya.
"Iyalah. Aku mana boleh pacaran. Katanya nggak penting. Buang waktu. Nanti nggak fokus sama sekolah."
"Kalau Ibuku, sih, boleh-boleh aja. Masalahnya, nggak ada cowok yang nembak. Huuuuh cedih!" Kopi pura-pura mewek seperti anak kecil yang melihat permennya jatuh ke tanah. Lucu sekali.
"Hahahahah" Vanila dan Mete tertawa. Aku tersenyum.
Drtt... Drtt... Handphoneku bergetar. Ada sms masuk. Kubuka. Kubaca juga tentunya.
Kamu lagi nyender dan senyum. Manis sekali.
Secret Admirer
Aku langsung saja mencari-cari orang tersebut. Tak salah lagi, ada yang sedang mengawasiku. Tapi nihil. Aku tak menemukan dia yang mencurigakan. Sebenarnya Si Secret Admirer ini sudah sering mengirim pesan-pesan misterius semacam ini. Setiap aku tanya balik siapa dia, dia tidak pernah menjawabnya. Seperti di film-film, ya.
"Siapa?" Kopi bertanya.
"Ini, Si Secret Admirer" kujawab sambil terus mencari jejaknya.
"Coba lihat nomornya? Mungkin aku kenal" kemudian Vanila menyalin nomor Si Secret Admirer dan mencocokkan dengan kontaknya.
Vanilla adalah teman sejuta umat. Banyak tau nama-nama di sekolah, kontak handphonenya pun melimpah. Entah siapa saja. Namun nihil. Tak terdeteksi nomor tersebut. Mete dan Kopi juga tak mengenalnya.
"Yaudahlah, nanti juga ketauan" ucap Mete.
"Eh, eh, tau nggak. Coklat sama Keju udah putus" kata Vanila sukses membuatku menyalang kaget. Oh, benarkah demikian?
"Pantesan sekarang jarang kelihatan bareng. Jauh-jauhan aja. Tempat duduknya juga beda. Jauh. Nggak kaya dulu waktu kelas 2. Nempel terus. Udah kayak di lem aja" Mete menanggapi. Kopi melirikku sekilas. Aku paham lirikan Kopi bermakna apa. Maksudnya, Ayo Donat sekarang giliran kamu.
"Iya. Aku tau dari Karamel. Karamel, kan akrab sama Keju" kata Vanila.
"Baguslah putus. Mereka nggak cocok. Heboh banget pacarannya. Tiap hari di kelas berduaan. Kalau kelompok maunya sama Coklat terus. Kalau lagi ribut seluruh kelas nonton. Terus nih, ya, kalau kelas kita lagi tanding futsal sama kelas lain, ya ampuuuuuun, Keju teriakannya bikin pecah telinga. Horee! Cocooooo! Semangaatt! Gitu. Heboh banget. Apalagi kalau Coklat ngegolin. Wah, udah, deh, semua mata tertuju sama teriakannya. Coklatnya malah adem-adem aja. Pecicilan. Aku nggak suka!" Mette menceritakannya antusias. Bahkan di bagian Horeee! Cocooooo! Gooooool! Mete berlakon persis sekali seperti Keju yang memang begitu. Asal kalian tau saja, panggilan sayang antara Coklat dan Keju adalah Coco dan Juju. Sudah pasti aku tau, karena Keju menyuarakannya seantero kelas. Bahkan dunia.
YOU ARE READING
DONAT DAN COKLAT
Teen FictionKuberitahu, bagiku, cinta seperti Donat. Donat, makanan polos yang belum ada rasa. Ia bisa menjadi manis seperti Coklat. Pahit seperti Moka. Asam seperti Stroberi. Atau kecut seperti Keju. Cinta bagai Donat yang bisa jadi berbagai macam varian rasa...