Tentang Pisang, aku risih sekali. Semua tingkahnya benar-benar terlihat membuat dugaanku benar. Sampai aku jadi trauma sendiri ingin melangkah kaki ke perpustakaan. Aku melihat ke atas kelasku yang berada di ujung lorong. Aku harus mencari tempat lain untuk meneduh dan sembunyi. Menghindar tepatnya. Kuputuskan hari itu pergi kerumah Mete saja. Mungkin saja lebih baik daripada di kelas seorang diri di saat sekolah sedang sepi-sepinya.
Kuputar arah berjalan kaki menuju rumah Mete. Aku sudah sampai di depan rumahnya yang berpagar besi setinggi satu meter. Kuketuk pintu rumahnya tiga kali dan mengucap salam. Dua kali kulakukan hal demikian. Lalu, pintu rumahnya terbuka. Ibu Mete menyapa.
"Wa'alaikumsalam. Eh, Donat. Mari m..." sebelum Ibu Mete selesai menyuruhku masuk, Mete langsung datang keluar dan menyapaku gembira.
"Donat!" riang wajah Mete.
"Ayo. Ayo. Ayo masuk. Sini!" Suruhnya. Aku hanya senyum-senyum saja lalu mencium tangan Ibu Mete dan masuk ke dalam rumah. Aku di giring Mete ke kamarnya.
"Ngapain kesini? Biasa di perpus?"
Mete menghamburkan diri. Rebahan di kasur berseprai motif bunga.
"Numpang, ya. Nunggu sampai setengah dua. Perpus terus aku bosan" kilahku.
"Tapi, kan, kalau kamu nunggunya di sini kejauhan. Kamu harus jalan dulu satu kilo lebih ke jalan raya buat dapat angkot. Sayang tenaga, Nat. Rumahku bukan di pinggir jalan."
"Iya, sih" aku menunduk lemah. Mau bagaimana lagi, Mete? Aku sekarang seperti punya dua bayangan. Bayangan satu itu menyebalkan.
"Nggak apa-apa kalau nggak sering. Pasti bosan juga kalau di perpus terus" katanya menyemangati kembali. Aku senyum menanggapi.
"Eh, udah makan siang?" Tawarnya.
"Udah. Di warung depan."
Aku menunduk. Kembali memikirkan perkataan Mete.
Mete benar. Sebenarnya kalau ke rumah Mete buang tenaga. Jujur saja, aku lumayan lelah saat berjalan ke rumahnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Mete tidak tau kalau aku sedang berusaha menghindar dari Pisang.
"Mau aku temenin nunggu diperpusnya?"
"Sekarang?" Kataku menegaskan.
"Bukan. Besok-besok. Kalau kamu mau les aku temenin. Jadi, nanti aku nggak pulang dulu. Nungguin kamu naik angkot."
"Makasih, Mete" aku membalasnya dengan pelukan.
"Sama-sama" katanya sambil memelukku jua.
"Eh, udah tau siapa orang yang suka kirim makanan manis-manis itu?"
"Belum."
"Siapa, ya? Aneh, sih, hadiahnya. Tapi unik. Aku suka. Kemarin dia ngasih cokelat tapi meleleh karena seharian di dalem kolong meja. Hahaha. Meja kamu jadi disemutin. Gila! Hahahaha."
"Hahahaha" aku ikut ketawa.
Akhir-akhir ini memang sering ada yang menitipkan makanan-makanan manis di kolong mejaku dengan secarik kertas berisikan tulisan 'Donat, kamu manis seperti cokelat ini'. Itu kalau dia sedang memberi makanan cokelat. Jika permen atau lainnya, maka kata ganti makanannya juga berganti. Pernah juga ice cream yang kemudian saat pagi kuperiksa sudah mencair. Jus mangga, buah rambutan, bolu, puding, kue tradisional, gula Jawa atau gula merah, bahkan kolak.
"Seru ya, jadi kamu, Donat."
"Biasa aja" aku senyum malu.
"Aku penasaran siapa. Pasti teman kita juga. Tapi siapa, ya?"
YOU ARE READING
DONAT DAN COKLAT
Teen FictionKuberitahu, bagiku, cinta seperti Donat. Donat, makanan polos yang belum ada rasa. Ia bisa menjadi manis seperti Coklat. Pahit seperti Moka. Asam seperti Stroberi. Atau kecut seperti Keju. Cinta bagai Donat yang bisa jadi berbagai macam varian rasa...