Senin kemudian, suasana di kelas antara aku dengan geng Keju jadi terasa semakin panas. Kami satu kelas, wajar dan lumrah sekali kalau hampir tiap hari adegan kami bertemu saling beriringan atau bertatapan.
"Aku salah apa, sih? Sekarang aku jadi nggak enak banget rasanya kalau ketemu Tiramisu."
"Yang salah bukan kamu, tapi si Moka sok kegantengan itu, Nat. Bisa-bisanya nolak sama nembak di depan orang banyak" kata Mete.
"Aku jadi males keluar kelas. Kalian pada mau ke kantin, kan jam istrirahat begini?" kataku murung.
"Nat, udah nggak usah dipikirinlah, ada kita, kok" Vanilla menguatkan aku. Ya, karena hari itu aku sakit, sakit yang bukan karna luka berdarah atau suhu badan yang panas, tapi hatiku.
"Kalian ke kantin aja, aku nitip susu, ya."
"Bener, nih, nggak ikutan? Nanti kalau di sini sendirian di labrak, loh sama mereka."
"Hush! Kopi, nih, ya, kalau ngomong yang bener! Doa itu omongan, loh" Mete memarahi Kopi.
"Hehehe. Maaf. Cuma becanda. Yaudah, kita duluan, ya. Nggak lama, kok. Bentar. Beneran."
"Aku mau nemenin Donat aja. Kalian pergi sana. Palingan di kantin juga makannya mi rebus sama telur" terima kasih Mete. Kamu membuatku tidak sendirian di titik rendah.
"Yeee, kita mau makan nasi goreng, dong. Sok tau" tangkis Vanila. Tuhan, terima kasih atas sahabat-sahabatku yang kau kirim ini.
Mereka berdua pun pergi mengisi perut. Mete mengajakku ngobrol ini itu agar sedih hatiku bisa sedikit dilupakan.
Tidak lama temanku yang lain datang ke mejaku dan bilang ada yang nyariin aku katanya. Kutanya siapa, dia menjawab Moka. Oh, hari yang buruk. Aku jadi benci Si Secret Admirer itu.
Drtt... drtt....
Tak lama handphoneku bergetar. Kalian bisa tebak dari siapa? Ya. Moka. Isi pesannya adalah menyuruhku keluar kelas menemuinya sebab dia sudah berdiri dan menungguku. Kulihat dari jendela, memang benar dia disitu.
"Mete..." suaraku lemas sekali.
Mette langsung tau apa yang kurasakan. Dia manggut manggut.
"Aku nggak mau ngeliat dia lagi."
"Iya" kata Mete. "Temuin aja buat yang terakhir. Kamu perjelas sejelas-jelasnya kalau kamu nggak suka sama dia."
Oke. Buat yang terakhir. Terakhir dan selamanya.
"Cowok emang gitu, Nat. Mereka nggak akan berhenti ngejar cewek incerannya sampe si cewek udah punya pacar. Kan, yang lain tau kamu belum punya pacar" Mete memberi penjelasan yang masuk akal.
Maksud dari Mette adalah laki-laki tidak akan berhenti mengejar dan mendekati sebelum perempuan menolaknya atau perempuan itu sudah punya pasangan. Mereka tidak akan berhenti berharap dan berusaha, bahkan berdoa. Atau cara lainnya.
Akhirnya, aku berjalan keluar menghampiri Moka. Malas karena harus berhadapan lagi dengannya. Namun, juga semangat karena untuk yang terakhir.
"Hei, Nat" sapanya manis.
"Hei juga" sambil kurebahkan badan bersandar di teras dinding pembatas depan kelas.
"Kamu lagi ngapain?"
"Lagi sibuk."
Sumpah, saat itu yang kutampilkan kehadapan Moka adalah wajah terjelek dan terjutek terbaik yang aku punya. Biar dia, dan orang-orang seperti Pisang peka. Aku nggak suka dan nggak nyaman dengan cara mereka yang kelewat maksa.
![](https://img.wattpad.com/cover/139447446-288-k177542.jpg)
YOU ARE READING
DONAT DAN COKLAT
Teen FictionKuberitahu, bagiku, cinta seperti Donat. Donat, makanan polos yang belum ada rasa. Ia bisa menjadi manis seperti Coklat. Pahit seperti Moka. Asam seperti Stroberi. Atau kecut seperti Keju. Cinta bagai Donat yang bisa jadi berbagai macam varian rasa...