Tiga

133 6 0
                                    

Sial

'Biasa aja'

Hening. Kami hanya berpacu dengan angin.. Saling diam menikmati senja yang kian jingga. Aku dengan pikiranku, dia.. Entahlah.

Sosok di depanku kini, entah sadar atau tidak, sudah terlalu baik untuk jadi sekedar teman. Kakak?Adik-kakak-an.  Tidak..tidak ada hubungan seperti itu dalam hidupku.

Aku pun tersadar, aku telah berharap. Jauh.. Jauh sekali.

----

'Neng, jendelanya bisa ditutup?'

'Eh, oh iya pak. Maaf..

Bapak itu hanya tersenyum ramah dan kembali berbincang dengan gadis sebelahnya.

'Udah lulus, nikah aja lah neng'

Aku spontan menengok, kuperhatikan, ternyata gadis itu putrinya. Sedangkan percakapan selanjutnya lebih pas untuk disebut bisik-bisik. Pelan.. Pelannnn sekali.

Aku hanya melihat ekspresi si gadis yang sedari tadi menunduk. Entah patuh atau malas menyimak. Hingga akhirnya dia berbalik ke arah berlawanan dengan ayahnya.

Tiba-tiba saja bapak itu kembali menengok ke arahku dan memergokiku sedang memperhatikan -menguping mereka.
Aku hanya tersenyum gugup dan mengangguk pelan tanda meminta maaf.

'Neng kuliah?'

'Eh, saya? Ngg... Kuliah pa'

'Dimana?'

'Di univ. Harapan.. Di dekat Karang Talaga'

'Oh iya. Saya tahu. Jurusan apa?'

'Pendidikan Luar Sekolah Pak..'

'Wah, iya iyaa bagus.. Prospek kerjanya bagus di zaman sekarang.'

'Iya pak. Banyak dibutuhkan katanya..'

'Jangan sempit gitu lah neng..'

'Eh, iya pak?'

'Sayang sekali, banyak mahasiswa yang masuk suatu jurusan hanya dengan pertimbangan bursa tenaga kerja yang dibutuhkan instansi. Rubahlah pola pikirnya.. Bukan yang dibutuhkan instansi, tapi yang dibutuhkan masyarakat. Bukan yang digajinya tinggi, tapi yang kontribusinya tinggi. Gitu lah pola pikir yang seharusnya. Kalo gabisa mikir gitu, perempuan mah nikah saja. Jangan malah nyempit-nyempitin pabrik. Atau ikut-ikutan antri mau di interview.'

Aku hanya diam,mencoba mencerna perkataan bapak tadi dengan seksama. Ada bagian hatiku yang mengangguk setuju, ada pula yang berontak. Tak suka dikatai seperti itu. Sedangkan bapak itu masih memandang kosong, seperti menerawang jauh. Aku sedikit bingung untuk menjawab, karena untuk seukuran orang asing, sepertinya aku tak terlalu nyaman kalo harus curcol gini.

'Ehm..
Aku ingin memulai percakapan.
Berhasil. Bapak itu kembali bersiap untuk menyimak jawabanku yang entah sesuai harapannya atau bahkan tidak sama sekali.

'Bagi saya pak, bekerja pada orang lain itu adalah langkah awal untuk nantinya bisa bekerja mandiri. Kalo nih, misalnya saya ujug-ujug buka lapangan kerja sendiri tanpa pengalaman, duh saya kan gatau darimana saya harus memulai. Perihal jangan memandang gaji, kan saya butuh modal pak untuk memulai segalanya. Sedangkan untuk masalah nikah, saya pasti nikah pak, entah itu telah ataupun belum dapat pekerjaan. Bagi saya, nikah bukanlah kodrat yang harus ditolak demi berkarir. Nikah itu kebutuhan saya. Kebutuhan untuk menyempurnakan agama saya. Kebutuhan untuk mencari partner yang mau menyamakan visi demi sukses dunia akhirat. Suka atau tidak suka, pak.. Begitu jawaban saya.'

Aku mengulas senyum seramah mungkin, demi menghilangkan kesalahfahaman. Demi meninggalkan kesan bahwa aku sama sekali tidak bermaksud menentang, hanya  menanggapi dan menyampaikan pendapat yang mengganjal.

Di luar dugaanku, semua orang di angkutan umum ini ikut menyimak jawabanku. Termasuk anak si bapak yang mengajakku ngobrol.

'Ha ha' bapak itu terkekeh..
'Neng siapa namanya?'

'Eh.. Ifa. Afifah pak'

'Neng ifa, saya suka jawabannya. Gitu. Tegas sejak awal bikin keputusan.matang berfikir dari awal dan istiqomah sampai akhir. Bagus. Sudah siap dengan pertanyaan apapun, dan tidak goyah. Dan tentang nikah, jawabannya pun sudah matang.sepertinya sudah mau nikah ya?'

Aku terkekeh pelan. Nikah? Ya Allah.. Aamiin.

'Saya belum menikah dan Allah belum munculkan hilal, atau mungkin saya yang belum teliti melihatnya pak.. ' ucapku seraya tersenyum.

'Semoga Allah datangkan jodohmu yang shalih itu sesegera mungkin ya neng'

'Aamiin pak. Jazakumullah khairan'

'Aamiin. Ini anak saya.. Dia baru lulus dan katanya cape. Pengen berhenti dulu gamau kuliah. Ya sudah saya suruh nikah. Tapi disuruh nikah malah manyun. Bingung belumada calonnya. Kenalkan, dia Hilma'

Sekilas, Hilma terlihat kikuk dan mencibir ayahnya. Aku hanya tersenyum. Malu sudah suuzhan sama bapak ini. Ternyata benar, mendengar dan mengetahui yang setengah-setengah itu, BAHAYA.

'eh, kiri pak..stop di depan..
Pak, saya duluan ya.'

Aku tersenyum, kemudian melangkah turun dan berdiri di depan sebuah gang kecil. Dua tahun sudah aku tidak pulang.

Bu, aku pulang, dengan hati yang hampir sembuh.

Allah, Aku pulang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang