Namu 12 : Logika Tidak Berada di Hati

5.9K 738 227
                                    

Terkutuklah teman-teman yang komentar 'next, kak' aja untuk satu chapter berisi 5.085 kata ini. Cerita yang pendek jangan diprotes, panjang jangan di-skip, oceeeeeee? 

Selamat membaca :) Unch! Unch!





Chanyeol merengut sambil terus memeras handuk kecil yang basah di tangannya. Matanya melirik ke arah Sehun yang berubah selayaknya patung. Berbentuk tapi tidak hidup.

Tadi dini hari saat dirinya baru pulang kerja dari pelabuhan, Chanyeol langsung tidur saja di kasur lantai, tepat di samping Sehun yang tidur memunggunginya.

Tapi saat pagi menyapa dan matanya terbuka, Chanyeol terkejut bukan main saat melihat wajah Sehun yang babak belur.

Menyesal rasanya Chanyeol masuk ke kamar tanpa menyalakan lampu, sekarang, luka-luka Sehun jadi telat ditangani.

"Ini pertama kalinya kau seperti ini. Sudahlah, jangan begini. Aku takut." Chanyeol menempelkan handuk itu di pipi Sehun.

"Kau kenapa? Siapa yang memukulimu? Kau dihajar preman, hm? Atau diamuk oleh orang yang menagih hutang kepadamu? Memangnya kau hutang apa lagi? Katanya sudah tidak mau hutang-hutang lagi ke orang lain?"

Sehun melirik sekilas sambil terkekeh kecil. Chanyeol ini kurangajar rasa sok tahunya. Sudah serius, tapi tebakannya salah.

"Hyung, aku sudah tidak kerja di hotel lagi. Kemarin aku dipecat. Sepertinya, nanti sore aku ikut denganmu lagi ke pelabuhan."

Chanyeol terlihat terkejut tapi selanjutnya dia berusaha santai. Orang-orang seperti mereka, tidak akan pernah mendapatkan jalan yang mulus untuk menata kehidupan. Kata siapa, naluri manusia itu putih dan bersih? Nyatanya, kesenjangan sosial selalu menjadi faktor besar, apa manusia itu layak dianggap hidup atau tidak oleh sesama manusia yang lain.

"Sudah biasa kan kerja di pelabuhan?"

"Iya, Hyung." Sehun mengangguk kuat. "Tempatku memang di sana, bersama para pria-pria tua dan buruh kapal, bersama Hyung, bersama kalian."

"Terus, dari mana kau mendapatkan luka-luka ini, hm? Kau dipecat gara-gara berkelahi?"

Sehun menggeleng.

Dia, walaupun tumbuh dan hidup di dunia yang keras dan kumuh, tak sedikit pun dia menyukai kekerasan. Kecuali kalau terdesak, seperti yang ia lakukan kepada Baekhyun kemarin.

"Aku dipecat karena aku tidak punya ijazah sekolah apa pun. Kalau luka-luka ini, aku dapatkan karena ... aku memukul anak direktur di hotel itu."

Chanyeol tergelak mendengarnya.

"Hyung, kenapa tertawa?"

"Tangan anak jalanan sepertimu bisa menyentuh wajah konglomerat? Daebak! Kau jadi gelandangan yang naik pangkat, Sehun!"

Sehun ikut tersenyum walau perang itu masih ada di hatinya. Itulah yang ia syukuri ketika hidup bersama Chanyeol. Chanyeol tidak pernah bersedih, selalu tertawa seolah dunia ini begitu hina untuk disebut dunia.

Chanyeol mengolok-olok segala hal. Memikirkan kesenangannya saja, mengenyahkan segala duka di balik tawa dan kelakarnya.

Di hidup Sehun, Chanyeol seperti energi positif yang tidak habis-habis. Kehadiran Chanyeol membuat Sehun lupa bahwa sampai saat itu pun dia masih berharap bisa bertemu lagi dengan Harang dan ayahnya.

NAMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang