Namu 19 : Sahabatmu Pulang, Nak!

4.4K 712 258
                                    

Takdir itu seperti angin.

Seolah tak terkendali, berembus bebas ke segala arah, tanpa pernah sadar bahwa angin juga termasuk salah satu yang dikendalikan takdir.

Semua orang berusaha menghindar, tapi tetap saja terkejar.

Semua orang berusaha mengelak, tapi takdir tetap menyalak.

Tidak ada yang pasti, semua hanya bisa berencana, hanya bisa berspekulasi sendiri, berusaha banyak hal meski tahu pada akhirnya Tuhan lah yang memiliki keputusan.

Sehun hidup dalam pemikiran dan angan-angannya sendiri. Menghilang dan bersembunyi, menghindar dan berlari. Pada akhirnya, masa lalu tetap datang lagi.

Kali ini terlihat begitu kejam. Jika dia tahu bahwa semua orang memiliki alasan masing-masing dalam memperlakukannya, mungkin ikhlas itu bisa datang lebih awal. Dia tidak harus menghilang bersama asa kampungannya. Dia tidak harus terlunta-lunta dalam nostalgia yang menurutnya hina.

Anak itu bahkan merasa sangat berdosa sekarang. Bertahun-tahun membenci seseorang hanya perkara pintu yang dikunci. Membawa dendamnya dan tumbuh bersama rasa itu hingga ia besar kini.

Sehun terisak. Tak peduli dengan penumpang lain yang mulai melirik keberadaannya. Wajah pucat pasi. Tangan kanan yang dibebat, tangan kiri yang menyisakan segaris darah bekas tarikan jarum yang ia lepas semena-mena.

"Maafkan aku, Ahjussi."

Pikirannya terus tertuju pada kata-kata Suho. Bahwa kepergiannya telah membuat orang lain terpuruk. Terparah dari itu semua, nyatanya sahabat yang selama ini ia nanti-nanti sudah lama tiada dengan cara yang menyedihkan.

Dia kembali mengulang betapa frustasinya Yeon Seok kala itu. Membenturkan kepala ke batang pohon mungkin tidak akan pernah cukup untuk menjadi pelarian dari seorang ayah yang ditinggal pergi putranya.

Sementara itu, ia datang dengan tidak tahu diri. Menyebut nama Harang sesuka hati, mengungkit-ungkit luka yang mungkin Yeon Seok pendam seorang diri. Sehun memejamkan mata. Nyatanya, tidak hanya orang tuanya yang kejam. Dirinya juga sama. Dirinya juga telah melukai perasaan seseorang dengan begitu dalam.

***

Bangsal kelas dua pagi itu begitu geger. Tangisan Harang yang begitu keras membangunkan banyak pasien dan keluarganya. Begitu juga para petugas yang kalang kabut karena Harang berlarian begitu saja hingga ke lobi rumah sakit.

Kalau tidak ditahan oleh seorang petugas keamanan, pasti lah anak itu berlari hingga ke jalanan. Terus menerus memanggil nama Sehun sambil bercucuran air mata.

Bahkan meski sudah direngkuh oleh petugas itu, Harang masih berusaha meronta-ronta. Kaki kecilnya menendang ke segala arah. Wajahnya merah padam hingga suhu tubuhnya meningkat.

"Sehun Hyung! Jangan pergi! Jangan datang ke tempat Harang Hyung! Sehun Hyung tidak boleh ke sana! Tidak boleh! Sehun Hyung tidak boleh pergi! Harang ikut! Harang mau ikut!"

"Kita bawa ke ruangan Dokter Suho saja. Beliau masih menangani pasien sampai saat ini. Pasiennya kritis."

Perawat itu berusaha mengambil alih tubuh Harang. Tapi begitu lepas sedikit, Harang berlari lagi. Beberapa orang yang kebetulan tidak jauh dari lobi berusaha ikut membantu menangkap tubuh Harang. Menggendong anak itu dan mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

Sudah dibilang, Harang itu putra semua orang. Tangis histeris Harang pagi itu menjadi tontonan yang paling dramatis yang pernah ada. Beberapa perawat di IGD yang melihat bahkan ikut menitikkan air mata saat melihat tangisan Harang tak kunjung reda.

NAMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang