Namu 14 : Mungkin Sebentar Lagi

5.2K 663 67
                                    

Sehun ingat bahwa dulu ia sering kali mencuri pandang saat ibunya sedang menyuapi Baekhyun di teras rumah. Ia akan berdiam diri di kejauhan. Membuka mulut lebar-lebar seolah sendok di tangan Na Ra ditujukan untuknya. Lalu ikut tersenyum saat Na Ra tertawa bangga karena makanan di piringnya habis.

Perasaan itu, sensasi perih yang ada di hatinya membekas sampai saat ini. Sehun juga masih ingat betapa dia harus terpaksa mundur hanya karena Baekhyun berhasil menyadari keberadaannya.

Sehun kecil, tak ubahnya seperti pencuri perhatian yang gagal melakukan aksi.

Sehun kecil keluar dari kamarnya membawa cinta, tapi kembali tanpa membawa apa-apa. Hanya kecewa yang bertumpuk, dari satu hingga seribu.

Dari seribu, hingga tak tahu lagi cara menghitungnya.

Sehun menghela napas. Dia melamun di sebuah tangga penyeberangan jalan yang sepi sambil menatap ke arah langit malam.

Mungkin, dua jam sudah dia lewati begitu saja. Dari pejalan kaki yang masih lalu lalang pergi, hingga akhirnya tempat itu ia kuasai sendiri.

"Kau di sini rupanya." Chanyeol datang dari atas sambil membawa sebuah jaket. "Aku mencarimu ke mana-mana. Bilangnya mau mencari makan, sampai malam begini masih belum pulang juga."

Sehun tersenyum tipis. Lalu menurut saja saat Chanyeol menyelimuti punggungnya dengan jaket yang dia bawa. "Sudah makan?"

"Sudah."

"Bohong. Ayo pulang, makanan dari ayahmu yang sangat banyak itu bisa kita hangatkan lagi."

Chanyeol nyaris beranjak sambil menarik tangan Sehun kalau saja Sehun tidak memilih untuk bergeming dan mempertahankan tubuhnya di anak tangga itu.

"Sehun, ayolah, kita sudah bukan gelandangan kecil yang bisa tidur di mana saja. Kita sudah punya rumah. Ayo pulang!"

Sehun melepas tangan Chanyeol lalu menundukkan kepalanya. Chanyeol sadar, Sehun sedang memendam kepiluan yang luasnya seperti samudera. Sehun terlihat tegap dalam tubuhnya, tapi jiwanya, Chanyeol bisa merasakan bahwa ada hati serupa kaca tipis di sana. Tersentuh sedikit, bisa hancur dan terberai begitu saja.

Chanyeol menghela napas, lalu memutuskan untuk ikut duduk satu tangga di atas Sehun. Tepat di belakang Sehun. "Kau harusnya sedang bahagia karena orang tuamu sudah datang dan memintamu pulang."

"Tidak. Bahagia tidak sesederhana itu, Hyung."

"Lalu, mau sampai kapan kau mempersulit makna dari bahagia itu sendiri, Hun?"

Sehun mengubah posisinya, menjadi bersandar pada batas tangga, membiarkan Chanyeol melihat separuh wajahnya dari samping. "Aku bingung."

"Sejauh ini, aku melihat bahwa orang tua dan kakak-kakakmu itu adalah orang yang baik. Kau tidak akan tahu apa penyesalan mereka itu sungguhan atau bohongan kalau kau tetap jual mahal seperti ini."

Sehun mendengkus jengkel sambil melirik. "Aku tidak sedang jual mahal, Hyung!"

Sementara itu, seringai mengerikan berkibar di wajah Chanyeol. "Lalu apa kalau bukan sedang jual mahal? Berlagak menjadi satu-satunya korban dan pihak yang paling tersakiti, ya? Begitu?"

Kali ini, bukan hanya jengkel, tapi Sehun juga sedikit marah. Hanya saja, semarah-marahnya ia kepada Chanyeol, tidak akan berani ia bertingkah kasar atau meninggikan nada bicara. Chanyeol bukan sekedar kakak, Chanyeol sudah seperti orang tua di mana Sehun harus memberikan penghargaan yang tak putus-putus sepanjang masa.

NAMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang