👉 Cahaya Senja

59 3 0
                                    

Cuap author :
          Gak bosen kan sama ocehan author 😕, ya gak la yahh.. *(anggap aja gitu😆).. so, kalian juga bisa tuh mampir ke karya ku yang lain.. yang suka novel, cerpen, puisi , quotes bisa langsung cek di @tiffanyviana10.. jgan lupa follow +vomment , yg mau difolback gmpang bgt tinggal kirim pesan ke author , dilarang minta follback di kolom komemtar okeh😉

                  Cahaya Senja

Nama : Lutviana Tiffany
Judul : Cahaya senja ( genre romance )
Isi :

      Aku disini, masih disini dan tetap seperti ini. Menunggu pergantian malam dari balik jendela, menatap warna kuning kemerah-merahan yang berpadu dengan perubahan warna gelap di langit nan jauh disana. Menunggu sesuatu yang sudah aku tahu takkan pernah ada di dalam hidupku. Seseorang yang mengajariku arti dari senja. Meskipun kilauannya menarik, tapi tak dapat direngkuh, tak dapat bertahan, dan selalu berubah.

Dia yang membuatku sadar bahwa cinta sepihak punya kekuatannya tersendiri. Aku tidak perlu membagi cintaku pada orang lain. Cukup aku yang mencintai dan tersakiti secara bersamaan. Aku masih setia menatap sunset di Pantai Indrayanti. Menunggu kapan senja itu akan berakhir meninggalkanku dalam sepi dan gelapnya malam. Aku masih terpaku menatapnya sebelum suara pintu kamarku berderet terbuka.

"Neng, ada tamu nyariin kamu." Aku beralih menatap Mak yang berada di balik pintu.
"Siapa Mak?" Perempuan parubaya itu tak bergeming.
"Kamu masih mencintai turis itu Neng?" Pertanyaan itu kembali mengusik relung hatiku. Aku hanya diam.
"Turunlah. Pastikan tentang perasaanmu itu sekarang." Aku segera turun, mendapati sosok yang tengah aku fikirkan sejak kepergiannya dari tanah Jawa ini. Pria berhidung mancung, dengan postur tubuh tegap, matanya berwarna coklat dan kulitnya yang seputih bengkuang.

Ingatan setahun lalu kembali berputar bersamaan dengan pandangan kami yang saling beradu. Teringat sewaktu ia meninggalkan bekas luka dan cinta di dalam hatiku. Waktu itu Aku tak sempat menanyakan alasannya menolak cintaku. Tapi Aku bukan wanita bodoh. Meskipun wanita desa, Aku tahu Pria yang berkuliah di Australia ini tak mungkin meminang seorang gadis yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Aku cukup tahu diri, siapa Aku yang bisa mencintai pria turis Australia? Siapa Aku yang berhak mendapatkan kehidupan pria itu?
Ruang tamu ini kembali sunyi, hanya ada Aku dan Dia. Kami saling diam, menatap luar jendela memandangi indahnya cahaya sunset yang masih terpancar.

"Kamu masih hobi memandangi senja?" Dia menoleh ke arahku.

Tanpa menoleh Aku menjawab "karena senja mengajarkanku bahwa menunggu itu memang lama, tapi takan sia-sia. Meskipun hanya sekedar melihat tanpa dapat menyentuhnya, Aku sudah cukup senang."

Ia kembali menoleh ke arah pandanganku, yaitu senja. "Tapi senja selalu pergi tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga. Ia hanya dapat menimbulkan sunyi dan mengantarkan pada gelapnya malam."

Lalu kutolehkan pandanganku padanya. Tepat pada mata coklatnya, kupandangi lekat-lekat. "Lalu untuk apa senja datang? Kalau hanya meninggalkan bayang cahaya indahnya yang semu?"

"Untuk kewajiban. Dia hanya menjalankan apa yang seharusnya dilakukan." Ia mendekatkan wajahnya padaku. Aku tak takut, sungguh. Hanya hati ini yang mulai goyah kembali, mendobrak pertahanan yang dulu Aku bangun dengan susah payah.

"Kamu bercerita tentang senja atau dirimu sendiri?" Tanyaku tanpa mundur dari posisi dudukku.

"Keduanya. Jika kau menyukai senja berarti kau menyukaiku juga. Jika membenci senja maka kau membenciku juga."

"Aku membenci keduanya." Aku kembali pada posisi dudukku semula.

"Sungguh? Tapi aku tidak melihatnya dari matamu. Matamu terlalu jujur dengan isi hatimu kawan." Aku hanya bisa menunduk, kurasa pertahananku mulai runtuh. Mataku memerah, seperti sesuatu yang ku bendung sedari tadi ingin rasanya keluar.

"Kenapa kamu kembali? Apa seperti senja yang hanya datang lalu pergi sesuka hati? Aku membenci itu." Tatapanku masih sama ke arah lantai.

"Jangan salahkan senja, salahkan sang fajar yang membawamu pada senja." Pria turis itu mengangkat daguku, membawa mataku menuju tatapannya.

"Aku tahu aku salah. Dulu Aku hanya seorang turis. Aku kesini hanya untuk menjalankan tugas akhir dari skripsiku. Aku tak mungkin terus berada di Indonesia bukan? Meskipun Aku menyukaimu, tapi Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku masih punya kewajiban disana." Lanjutnya.

"Kini Aku kembali. Bukan untuk tugas kuliahku, bukan untuk skripsiku, bukan juga untuk tempat ini. Tapi untuk dirimu, untuk cinta yang telah menungguku." Aku menangis mendengar kalimat yang Ia lontarkan.
Pria turis itu mendekat dan memelukku. Sungguh sangat erat tapi nyaman. Hangat dan tercium jelas aroma badan dari parfum yang Ia kenakan. Aku masih tak dapat menahan tangisku. Seperti sebuah mimpi dan angan yang selalu terngiang di pikiranku. Ini benar-benar sepeti imajinasi.

"Saat aku pergi meninggalkanmu aku juga merasa sesuatu tertinggal disini. Dan aku sadar itu adalah cinta. Kau membuatku tahu rasanya mengorbankan sesuatu, memaksa sesuatu, dan aku sadar mengajarimu menyalahkan senja."

"Kenapa? Bukankah senja memang salah? Dia sepertimu." Aku mendongak menatap dagu runcingnya.
"Kau salah. Yang seharusnya disalahkna adalah fajar. Sang fajar membuatmu menunggu senja tiba di sore hari. Fajar membuatmu berharap ada kilauan cahaya indah setelah teriknya mentari. Tapi fajar justru membawamu pada gelap bersama sunyi." Sembari mengelus rambutku dengan tatapan matanya yang mulai sendu.

"Tapi dengan membawaku pada malam, dia bisa menjagaku agar terlelap dan beristirahat ditemani mimpi yang membawaku pada cahaya fajar lagi." Aku mengelus pipinya, menatapnya, membuatnya yakin bahwa apapun yang akan terjadi Aku akan terus berada disampingnya seperti ini, menggandeng tangannya agar terus bersamaku.

"Will you marry me?" Kemudian Ia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah. Didalamnya terdapat cincin berwarna perak mengkilat berhiaskan mutiara kecil diatasnya. Aku terkejut, mataku membelalak.
"Ka..kamu beneran?" Dia menatapku lebih intens.
"Aku yakin dan aku sadar, kamu yang aku mau. Kamu bukan kebutuhanku sebagai seorang turis untuk didampingi berkeliling. Tapi kamu adalah keinginanku untuk mendampingi seumur hidupku." Dia memegang tanganku, mengeluarkan cincin itu dari kotaknya dan memakaikannya di jari manisku tanpa seizinku.
"Aku kan belum jawab kalo Aku mau jadi istri kamu" sembari menjauh dari pelukannya. "Oh ya? Matamu terlihat ingin bersamaku selamanya." Tanpa permisi, Dia menyambar mulutku sembarangan. Dengan rakus namun dengan ritme yang pelan, lembut dan menggiurkan. Lidahnya menggelitik langit langit mulutku. Kerongkonganku tercekat. Rasanya aku kehabisan oksigen. Dia berhenti sembari menatapku yang masih tersengal-sengal. "Jadi?" Aku menatapnya, kemudian mengecup mulutnya singkat. "I want to marry you"

Titimangsa : Purwokerto, 23 Juni 2018

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang